Thursday, June 24, 2010

Vitalnya Kata, Fatalnya Dusta

Oleh Eka Darmaputera

Setelah Titah ke-VIII, "JANGAN MENCURI", sekarang tiba giliran membahas Titah ke-IX - the last one -- "JANGAN MENGUCAPKAN SAKSI DUSTA TENTANG SESAMAMU". Titah ini dapat kita baca dari Keluaran 20:16 dan Ulangan 5:20.

Dalam terjemahan bahasa Indonesia, bunyi kalimat dalam dua kitab tersebut persis sama. Tapi tidak begitu dalam naskah aslinya. Dalam naskah bahasa Ibrani, kata yang dipakai untuk "saksi dusta" pada versi Keluaran, mengandung pengertian "mengucapkan kebohongan", "ketidak-benaran". Sedang pada versi Ulangan, "berbicara secara tidak-serius"; "membual"; "sembrono".



Memang bukan perbedaan yang esensial. Malah sebaliknya, keduanya saling melengkapi. Yang versi Keluaran menekankan "hakikat"nya. Yaitu bahwa mengucapkan "kesaksian dusta", tidak kurang adalah mengucapkan kebohongan; menyebarluaskan ketidakbenaran. Sedang yang versi Ulangan berbicara mengenai "roh"nya. Yaitu bahwa di balik "kesaksian palsu", adalah "ketidak-sungguhan". Ketidak-sungguhan orang dalam menyaring tindakannya sendiri, maupun dalam memperhitungkan akibatnya terhadap orang lain. Sembrono.

JELAS sekali, betapa Hukum ke-VIII ini mengambil "dunia pengadilan" sebagai latar belakang. Sebab itu dengan segera kita dapat membayangkan "suasana"nya. Di situ, berkumpullah orang-orang yang dalam segala hal mungkin saling berbeda. Namun demikian, mereka diikat oleh tujuan yang sama. Yaitu, "mencari kebenaran" dan "mengupayakan keadilan".

Di situ ada seorang, atau lebih, anak manusia yang "nasib" dan "hidup"nya sedang ditentukan. Bila yang bersangkutan adalah terdakwa, dan terbukti bersalah, apakah ia akan mendapat hukuman yang setimpal, tapi adil? Dan bila sebaliknya, ia adalah korban yang sedang mencari keadilan, apakah ia akan memperoleh kompensasi yang memadai atas kerugian yang dideritanya?

Pendek kata, agar kejahatan tidak dibiarkan bebas tanpa hukuman, namun demikian baik pelaku maupun korban tetap dihormati hak-hak serta martabat mereka. Dan yang terpenting, pengadilan tidak "menumpahkan darah orang yang tak bersalah".

Demikianlah, suasana batin atau "mood" yang melatar-belakangi "Titah ke -IX" ini, adalah suasana yang "kritis" dan "serius". "Kritis" dan "serius", sebab ada "nasib", "hidup" dan "masa depan" orang yang sedang dipertaruhkan. Bukan main-main.

Dalam rangka mencari kebenaran, serta untuk tiba pada keputusan yang seadil-adilnya, maka bukan saja peran hakim atau jaksa atau pembela yang sangat menentukan. Yang tak kurang vitalnya, adalah peranan para "saksi". Keterangan para saksi ini dapat meringankan, tapi dapat pula memberatkan. Bisa memberikan kejelasan, tapi bisa pula menambah kekaburan. Sebab itu para saksi pun harus bersungguh-sungguh dalam melaksanakan fungsinya. Tidak boleh "main-main".

Untuk itu, sebelum memberi kesaksiannya, para saksi harus disumpah. Bahwa dalam kesaksian mereka, mereka berjanji hanya akan mengatakan kebenaran -- tanpa dipelintir-pelintir. Bahwa mereka akan menyatakan seluruh kebenaran -- tanpa ada yang sengaja disembunyikan. Dan bahwa mereka tidak akan mengungkapkan apapun yang lain, kecuali kebenaran -- bukan opini, bukan interpretasi, bukan a priori.

MENGINGAT begitu seriusnya peran para saksi ini, dapatlah kita mengerti, mengapa "kesaksian palsu" atau "kesaksian dusta" ditanggapi begitu seriusnya dalam Dasa Titah, bahkan dalam seluruh alkitab. Kita disadarkan ulang, bahwa "kesaksian dusta" - bila dibiarkan -- akan merupakan "horror" dan "bencana" bagi seluruh proses mencari keadilan. Sebuah mimpi buruk bagi keberadaban -- karena itu juga bagi keberadaan -- sebuah bangsa.

Itulah yang pertama-tama ingin saya ingatkan mengenai Titah ke-IX ini. Bahwa ada suasana batin yang amat serius yang melatar-belakangi hukum tersebut. Bahwa berkata benar adalah sesuatu yang serius. Dan bahwa berkata dusta adalah dosa yang serius pula.

Seluruh alkitab membenarkan apa yang saya katakan. Bagi pemazmur, salah satu pengalaman yang paling pahit dalam hidupnya, adalah ketika mesti menghadapi kesaksian dusta lawan-lawannya. Ia sampai berteriak, "Telah bangkit menyerang aku saksi-saksi dusta dan orang-orang yang bernafaskan kelaliman!" (Mazmur 27:12)

Kemudian, menurut sang Bijak dari kitab Amsal, ada enam perkara yang dibenci dan dianggap keji oleh Tuhan - bahkan tujuh. Yaitu, "mata sombong, lidah dusta, tangan yang menumpahkan darah orang yang tidak bersalah, hati yang membuat rencana-rencana jahat, kaki yang lari menuju kejahatan, dan . saksi dusta yang menyembur-nyemburkan kebohongan, dan yang menimbulkan pertengkaran" (6:16-19).

Sebaliknya, "saksi yang setia menyelamatkan hidup" (Amsal 14:25). Karena itu, "saksi dusta tidak akan luput dari hukuman, (dan) orang yang menyembur-nyemburkan kebohongan akan binasa" (Amsal 19:9; 21:28)

Perjanjian Baru menjelaskan, bahwa "sumpah palsu" adalah "bayi" yang dilahirkan oleh hati yang jahat" (Matius 15:19). Ia merupakan bagian tak terpisahkan dari setiap skenario peradilan yang tidak adil. Ini nyata, baik dalam pengadilan Stefanus (Kisah Para Rasul 6:13) maupun dalam pengadilan Yesus sendiri (Matius 26:59-60).

YANG tak kurang menariknya dalam hubungan ini, adalah sikap alkitab terhadap mereka yang menolak memberi kesaksian. Bila yang bersangkutan memiliki bahan-bahan kesaksian yang penting, tapi tidak bersedia mengungkapkannya, maka ia akan dipandang dan diperlakukan sama seperti si pelaku kejahatan itu sendiri.

"Apabila seseorang berbuat dosa, yakni jika ia mendengar seorang mengutuki, dan ia dapat naik saksi karena ia melihat atau mengetahuinya, tetapi ia tidak mau memberi keterangan, maka ia harus menanggung kesalahannya sendiri" (Imamat 5:1)

Jadi, ada dosa yang disebabkan karena orang berbicara, namun ada pula dosa yang disebabkan karena orang TIDAK berbicara. Dosa karena berdiam diri. The sin of silence.

Ada banyak sebab, mengapa orang memilih untuk diam. Ada yang tidak mau berbicara, karena takut. Mengenai "diam" dari jenis ini, saya harap Anda tidak terlalu gegabah menghakimi secara "gebyah uyah".

Ada orang yang diam, karena yang bersangkutan memang penakut atau pengecut. Sikap yang tidak terlalu membanggakan hati. Namun demikian, harus kita akui, bahwa kadang-kadang itu bukan kesalahan mereka sepenuhnya. Tidak jarang ada ada keadaan yang sedemikian rupa menindas dan mencekamnya, sehingga "takut" adalah sesuatu yang manusiawi.

Malah bisa terjadi, dalam situasi-situasi ekstrem tertentu, sikap "diam" justru adalah sikap yang terpuji. Di zaman Orde Baru, misalnya, ada orang-orang yang layak kita puji karena mereka memilih untuk diam, ketimbang berteriak-teriak mendukung ini atau mendukung itu, menunjukkan oportunisme mereka. Dalam hal-hal tertentu, sungguh, "diam" adalah bentuk perlawanan terhadap keangkara-murkaan.

"Diam" yang tercela, menurut penilaian saya, adalah "diam" yang lahir dan didorong oleh ketidak-pedulian, apatisme, egoisme, "cari aman", "cari selamat". Jenis "diam" yang seperti inilah, yang menyuburkan kejahatan dan kesewenang-wenangan. Sebab dengan diam, kejahatan dibiarkan tumbuh dengan bebas, tanpa gangguan ataupun perlawanan. Dan "membiarkan kejahatan" jenis inilah, yang layak disamakan dengan "melakukan kejahatan" itu sendiri. "Bersaksi dusta" paling sering terjadi dalam bentuk "tidak berkata apa-apa".

BUKAN hanya bagi konteks dunia pengadilan saja, hukum ke IX ini relevan. Hukum ini juga amat relevan bagi seluruh kehidupan. Sebab bukankah seharusnya seluruh proses kehidupan kita, adalah juga merupakan proses memperjuangkan kebenaran dan upaya mewujudkan keadilan? Bukankah dalam kehidupan ini, semua orang setiap saat sedang ditentukan "nasib"nya: apakah ia akan mendapat hukuman yang setimpal atas kesalahannya, dan memperoleh perlindungan bila dikambing-hitamkan secara semena-mena?

Bukankah dalam hidup ini, setiap kali kita berinteraksi dengan orang lain, tidak jarang kita harus berfungsi sebagai hakim, jaksa, terdakwa, tapi yang senantiasa harus adalah berfungsi sebagai saksi? Bahwa, seperti kata Yesus di hadapan Pilatus, "untuk itulah aku lahir dan untuk itulah aku datang ke dalam dunia ini, SUPAYA AKU MEMBERI KESASKSIAN TENTANG KEBENARAN" (Yohanes 18:37) - begitu pula tugas dan misi kita.

Kalau pun di dalam kenyataan, ternyata kita tidak mampu mewujudkan kebenaran dengan mengalahkan kepalsuan serta kejahatan, Allah akan maklum. Tapi paling sedikit, jangan jadikan diri kita sebagai bagian dari kepalsuan serta kejahatan itu sendiri. Dalam hal ini, bentuk titah yang negatif , "JANGAN MENGUCAPKAN SAKSI DUSTA TENTANG SESAMAMU" menjadi lebih realistis. Walaupun tetap saja pelik. Pelik untuk hidup jujur, tapi tidak hancur. Pelik untuk bertindak cerdik, tanpa menjadi licik. Pelik untuk berhati lugu, tapi tidak berotak dungu.

No comments:

Post a Comment