Tuesday, February 9, 2010

Kepemimpinan Dalam Era Demokrasi

Kepemimpinan Dalam Era Demokrasi


“Hom, pim, pa!” 4 tangan terbuka menghadap ke atas dan 1 tangan terbuka menghadap ke bawah. Yang banyak mendapat kesempatan untuk bersembunyi dan yang seorang mendapat bagian untuk menutup mata sambil menghitung sebanyak mungkin angka sampai yang lain mengatakan “sudah” yang berarti mereka telah mendapat tempat persembunyian yang dianggap aman. Alam demokrasi sepertinya tidak harus menjadi sama dengan dolanan tradisional ini. Demokrasi seharusnya menunjukkan sebuah peranan aktif dari mereka yang disebut “pemenang” bukan hanya bersembunyi dan mengatur strategi untuk memenangkan sebuah permainan. Demokrasi seharusnya juga tidak membiarkan mereka yang “kalah” untuk menghitung-hitung hari dari sebuah masa pemerintahan dan mencari, serta menyeruduk sana dan sini untuk menyuarakan “kami ingin ini dan kami ingin itu”. Demokrasi tidak hanya membiarkan mereka yang “kalah” untuk menunjuk sana dan menunjuk sini, letak dari sebuah tempat persembunyian dari mereka yang bernama “pencuri uang rakyat”.
Demokrasi harus aktif menunjukkan diri sebagai pemenang dengan memikul tanggung jawab dari suara terbanyak, dan harus berani mendengarkan suara dari mereka yang terpinggirkan, serta harus tulus untuk melakukan sebuah kepentingan bersama, sehingga demokrasi tidak hanya menjadi tempat berdemo dan bukan menjadi tempat persembunyian dari sebuah kepentingan yang terselubung.
Demokrasi kini adalah sebuah masa, dimana Bangsa dan Negara Republik Indonesia telah berada dan mulai merangkak di dalamnya. Demokrasi telah dikecap dan dirasakan walaupun bagi sebagian besar anak bangsa tidak dapat menelannya dengan baik karena terasa pahit untuk melewati tenggorokan. Kepahitan masih dirasakan dimana-mana, sehingga ditakutkan akan menjadi wabah dari penyakit diare, yaitu “aspirasi” menjadi kotoran cair yang dibuang dimana-mana. Untuk itu, anak bangsa butuh seorang pemimpin yang bisa mengkontekstualisasikan arti demokrasi.
Seorang pemimpin bagi Bangsa dan Negara Indonesia, haruslah seorang pemimpin yang : pernah lahir sebagai manusia Indonesia, pernah sakit karena kekurangan makanan, pernah sekolah di bawah atap yang bocor, pernah jatuh cinta pada perempuan yang jauh lebih kaya dan tak kesampaian, pernah turun ke jalan sambil membawa spanduk, pernah antri membeli minyak tanah, pernah tersedak ketika makan karena lampu dari PLN tiba-tiba padam, pernah tidur di ranjang Rumah Sakit yang kotor, pernah menjadi keluarga yang di cap dengan kata miskin, pernah dimarahi isteri karena di kantong hanya ada uang recehan, pernah menitikkan air mata dan tunduk berdoa sambil berkata “ya Tuhan berilah kami makanan secukupnya, agar anak kami boleh tertidur dan tidak merengek karena lapar”, selalu datang dan tertunduk di hadapan Tuhan yang Maha Esa dan berkata berkatilah “kami semua” bukan “saya seorang”, selalu berkata “bolehkah?” bukan berkata “harus!!!”, selalu mengajak “marilah kita” bukan menyuruh “pergilah”.
Untuk “pernah” yang lain dan “selalu” yang lain biarlah dapat dialami dalam pengalaman yang nyata bagi seorang pemimpin.
Bila seorang pemimpin mampu memahami dan memprioritaskan kehidupan orang banyak seperti yang diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945, dan bukan hanya mengingat dan merenungkan keuntungan yang bisa diraih oleh diri sendiri dan partai dimana ia bernaung, maka di alam demokrasi ini, seorang kandidat pemimpin bangsa dan wakil rakyat tidak perlu susah-susah membuat Baliho besar-besar dan memasang tinggi-tinggi agar dapat dilihat orang lain. Kebaikan dan kecakapan dalam memimpin akan menjadi sebuah reklame gratis bagi mereka yang merindukan pemimpin yang ideal bagi seluruh bangsa.
Kepemimpinan dalam era demokrasi sebuah kesempatan melayani rakyat dan merayu hati Tuhan, agar surga kelak menjadi tujuan hidup anda, saya dan kita semua.

No comments:

Post a Comment