Melayani dan Berkhotbah
Materi 01.
MELAYANI
1. Efesus 4:1 – 16.
2. Filipi 2:1 – 11.
3. Matius 25:31 – 46.
Gereja terpanggil memberitakan Injil dengan perkataan dan perbuatan. Hal ini harus berpola pada pelayanan Yesus yaitu bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani. Dalam rangka pelayanan kasih itulah Yesus rela menjadi sama seperti hamba dan bahkan memberikan nyawa-Nya untuk kehidupan orang banyak. Itulah sebabnya Gereja sebagai tubuh Kristus berfungsi juga seperti persekutuan pelayanan kasih. Pelayanan kasih itu diwujudnyatakan dalam berbagai bentuk yaitu: pelayanan (berbagi berkat dengan orang miskin, para janda, duda, yatim piatu, orang sakit, dsb) dan pelayanan transformative (memberdayakan anggota-anggota jemaat agar mampu mengubah dan memanfaatkan lingkungannya baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam untuk kesinambungan dan kesejahteraan kehidupan manusia dan ciptaan lainnya serta tercipta keutuhan dan kelestarian ciptaan. Itulah tanda-tanda kerajaan Allah.
Pelayanan transformative menjadi salah satu titik berangkat dari tugas-tugas yang kita pikul sebagai orang percaya, yang sudah secara pribadi menyatakan: “siap melakukan berbagai pekerjaan pelayanan”.
Kemudian yang harus menjadi catatan dalam menjalani kehidupan sebagai orang percaya adalah pelayanan berawal dari sebuah tugas yang dipercayakan kepada kita, namun kini seiring dengan pertumbuhan iman ke arah kedewasaan maka pelayanan harus menjadi sebuah totalitas dari hidup orang percaya. Sama seperti Kristus Yesus yang telah mengosongkan diri-Nya dan hidup sebagai seorang hamba (pelayan) maka demikian juga dengan kehidupan kita, yaitu Hidup sebagai seorang Hamba.
KHOTBAH
Manusia tidak dapat mengerti Allah bila Allah tidak memberikan kepada kita sebuah ruang untuk mengerti arti dari kehadiran dan pekerjaan yang dilakukan-Nya bagi kita.
Khotbah adalah salah satu bentuk pemberitaan (kesaksian) orang Kristen. Khotbah dalam arti utuh mencakup dua hal penting, yaitu Pengkhotbah (yang membawakan khotbah) dan Berkhotbah (cara membawakan khotbah).
Secara khusus Khotbah Kristen memiliki beberapa ciri:
a. Kabar Kesukaan.
Khotbah itu adalah kabar kesukaan. Sebuah kabar sukacita yang tersebar dalam seluruh isi kitab suci, terutama ketika kabar ini dinyatakan oleh para malaikat di awal Injil Lukas, “Jangan takut, sebab sesungguhnya Aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa”. (Lukas 2:10)
b. Kabar untuk Jemaat.
Khotbah disampaikan kepada suatu komunitas tertentu (Jemaat). Jadi khotbah harus dapat menampilkan sesuatu yang baru bagi para pendengarnya.
c. Kata untuk Kehidupan Sehari-hari.
Cirri khotbah ini adalah bahwa khotbah itu firman Allah untuk manusia, yang ada dalam kehidupannya sehari-hari dengan segala suka dan dukanya. Jemaat menghayati pelbagai persoalan secara sadar ataupun tidak sadar. Khotbah merupakan penyorot pada kehidupan sehari-hari. Khotbah berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan jemaat baik yang disadari atau tidak dengan menunjuk kepada yang diketahui dan dijanjikan oleh kitab suci.
d. Kata Ajakan.
Suatu khotbah juga harus mengandung ajakan. Maksud khotbah bukannya sekedar menambah pengetahuan. Memang pengetahuan itu perlu, namun tidak cukup. Khotbah bukan merupakan suatu ceramah, tetapi suatu Kata Ajakan Aktif.
A. Persiapan.
Mempersiapkan diri untuk dapat berkhotbah dengan baik harus diawali dengan sebuah perenungan pribadi atau dengan kata lain “berdoa”. Hal ini akan membiasakan seorang pengkhotbah yang baik untuk menyadari bahwa apa yang sementara dilakukannya adalah sebuah pekerjaan untuk memuliakan Allah bukan semata untuk menyenangkan hati pendengarnya.
Seorang pengkhotbah yang baik harus dapat menyadari dengan benar perbedaan antara “berbicara tentang Tuhan” dengan “berbicara dengan Tuhan” sehingga apa yang akan dikhotbahkannya, benar-benar lahir dari sebuah perenungan yang dalam dan yang akan nyata dalam kehidupannya.
B. Mencari Nas Alkitab.
Memulaikan langkah pertama adalah kesulitan yang harus dapat diatasi dengan baik dan tepat. Mencoba cara instant adalah sebuah alternative dan bukan merupakan jalan yang terbaik. Untuk itu ada 3 hal yang harus diperhatikan:
1. Hubungan Orang Percaya dengan Alkitab.
Seorang Pelayan yang dapat berkhotbah dengan baik harus mampu menyediakan waktu, yang bisa diisi dengan pembacaan dan pengenalan Kitab Suci dengan baik
2. Tahun Gerejawi. Minggu-minggu Advent, Natal, Sesudah Natal, Minggu-minggu Sengsara, Paskah, Sesudah Paskah, Kenaikan Tuhan Yesus Kristus, Pentakosta dan minggu-minggu sesudahnya.
3. Pengalaman dan Kebutuhan Jemaat.
Interaksi yang baik antara Pengkhotbah dengan anggota komunitas di sekitarnya, akan memampukannya melihat berbagai realitas unik, urgen dan menarik untuk dijadikan sebagai bahan dasar dari sebuah khotbah.
C. Nas yang Baik.
Untuk pengkhotbah pemula sebaiknya memperhatikan 3 hal ini, yaitu:
1. Nas yang didapat sebaiknya merupakan sebuah keutuhan yang bulat.
Nas yang utuh artinya ia berdiri dalam satu tema tertentu (mis: Filipi 1:3 – 11). Jika suatu ayat berakhir dengan koma atau titik dua(mis: Lukas 19:41) atau mulai dengan kata-kata seperti “sebab”, yang menyatakan ayat itu menerangkan ayat atau kisah di muka (1 Petrus 1;16) maka ayat itu tidak merupakan keutuhan yang bulat dan sebaiknya jangan dipakai sebagai nas.
Dan bila kita mengambil nas dari I Korintus 11:1, “Jadilah pengikutku, sama seperti aku juga menjadi pengikut Kristus”, kita dapat menerima nas ini bulat-bulat dan dapat diterangkan pada pendengar yang ada.
2. Nas itu harus bersifat praktis.
Nas yang dipilih harus dapat memperhatikan latar belakang pendengar atau anggota jemaat yang akan hadir. Apakah teridiri dari orang Kristen yang masih baru atau yang sudah lama, ataukah dari sudut pembagian kategorial, bahkan campuran.
3. Nas itu harus jelas.
Nas yang disampaikan harus sedapat mungkin dijelaskan dengan baik dan sebaiknya juga nas yang dipilih harus jelas atau mudah dimengerti oleh pendengar.
D. Penafsiran yang Baik.
Menafsirkan suatu nats adalah menemukan artinya. Untuk itu, penafsiran yang baik patut memperhatikan petunjuk-petunjuk yang berikut ini,
1. Membaca dengan tekun dan berulang-ulang.
2. Kedudukan nas di dalam Alkitab.
Sebuah syarat yang tidak bisa ditawar-tawar pada zaman sekarang ialah seorang pengkhotbah yang baik harus dapat memperlengkapi dirinya dengan berbagai literature penunjang seperti Ensiklopedi, Kamus, Peta, Buku Latar Belakang dan Tafsiran, bahkan Buku Sejarah.
3. Bentuk sastra dari nas yang ditemukan.
Cerita (Matius), Puisi (Kidung Agung), Sejarah (Yosua) dan bahkan Surat (Filemon)
4. Setiap kata dalam nas.
Contoh dari Perjanjian Lama, Mazmur 119:105 “Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku.”
Firman-Mu. Ini adalah Firman Tuhan, Firman yang disabadakan oleh Allah. Sesuatu yang Ia nyatakan dari diri-Nya sendiri. Tidak semuanya yang dari diri-Nya sendiri Ia nyatakan, tetapi hanya yang perlu bagi kita dan anak-anak kita.
Pelita. “Suluh” adalah alat pembantu di dalam gelap. Dari kata ini, dapat diambil kesimpulan bahwa dunia adalah gelap.
Kakiku. Anehnya, tidak ditulis di sini “hatiku”. Apa sebabnya? Orang Kristen adalah seorang pejalan kaki; pejalan kaki harus menggunakan kakinya. Untuk pergi di waktu malam ia memerlukan lampu (pelita), sebab di dalam gelap ia mudah kehilangan arah. Firman Tuhan berguna untuk untuk hidup yang nyata ini.
Jalanku. Pelita hanya menerangi sebagaian dari jalan. Tetapi bagian jalan yang gelap, yang diterangi oleh pelita Firman, sudah cukup untuk kakiku.
F. Susunan Khotbah Sederhana (Tematis).
Sebuah khotbah yang baik harus memiliki alur yang ditentukan oleh garis-garis pokok tertentu dan memiliki tujuan yang jelas. Untuk itu kita harus dapat menyusun suatu khotbah dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Khotbah sebaiknya memiliki sebuah garis besar yang dinamakan Tema. Tema yang baik harus pendek dan diambil dari nas yang dipilih bukan sebaliknya. Tema yang baik adalah sederhana atau teridiri dari satu atau pokok saja.
2. Pembagian Tema. Sebaiknya tema yang ada, kemudian dibagi menjadi beberapa sub tema, yang berurutan secarta logis.
Suatu khotbah dengan mengambil tema “Kuasa Salib” bersandarkan I Korintus 1;18 dapat dibagi sebagai berikut:
a. Kuasa yang dangkal;
b. Kuasa yang diterima;
c. Kuasa yang menguatkan manusia.
Dalam khotbah tematis, ada juga yang memiliki sub-tema yang meningkat dari bawah menuju titik klimaks.
Cerita tentang penyembuhan sepuluh orang yang sakit usta (Lukas 17:1 – 19) dapat bertemakan: Siapa yang telah percaya kepada-Nya? (berdasarkan ayat 19). Pembagiannya sebagai berikut:
a. Sepuluh orang sakit telah memohon kesembuhan;
b. Sepuluh orang sakit telah sembuh;
c. Seorang berterimakasih kepada Tuhan atas kesembuhannya. Dialah yang memiliki kepercayaan sejati.
3. Tujuan. Klimaks khotbah erat sekali berhubungan dengan tujuan. Setiap khotbah mempunyai tujuan dan pada umumnya memiliki 4 tujuan, yaitu:
a. Tujuan Pekabaran Injil. Nada dasar khotbah bukanlah ajaran atau ilmu tetapi pengharapan dan kegembiraan. “Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran” (2 Timotius 4:2).
b. Tujuan Pembangunan Rohani. Khotbah harus membangun jemaat dalam pengertian tentang hal-hal rohani. Dengan pemberitaan yang teratur, lambat laun jemaat akan memperoleh pengertian yang mendalam tentang Kerajaan Allah, seperti yang dintakan dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
c. Tujuan Dogmatik. Tujuan ini harus benar-benar dipikirkan secara matang dengan mempertimbangkan kebutuhan anggota jemaat akan hal yang dimaksud.
d. Tujuan Etika. Klhotbah memiliki tujuan untuk menunjukkan kepada orang Kristen, bagaimana ia harus hidup, sesuai dengan Injil, misalnya tanpa rasa takut sedikitpun mengakui kesalahan yang sudah dilakukan.
Keempat tujuan ini selain dapat berdiri sendiri, dapat juga saling terjalin untuk dapat membentuk sebuah klimaks dalam khotbah.
4. Mengakhiri Khotbah. Sebuah khotbah harus dapat menemukan penutup yang tepat, sama seperti dengan yang diusulkan di bawah ini:
1. “Amin” sebelum diharapkan.
2. Tutuplah khotbah dengan kesimpulan.
3. Arah. Kesimpulan penutup sebaiknyalah memberikan arah yang jelas. Khotbah, yang mempunyai isi yang baik, dapat dirusak oleh kesimpulan yang tidak terarah dengan jelas.
4. Singkat dan tegas.
5. Aneka ragam kesimpulan. Dalam bentuk Penerapan, Pertanyaan, Lukisan dan Syair.
G. Cerita Pendek atau Ilustrasi (Penerangan).
Ada begitu banyak khotbah yang berhasil dan disukai oleh banyak orang bahkan membawa efek emosional yang tinggi, semata-mata oleh karena adanya cerita pendek atau sebuah ilustrasi. Contoh: Kemarahan raja Daud yang diakibatkan oleh cerita pendek yang diajukan oleh nabi Natan (2 Samuel 12) dan berbagai perumpamaan yang dibawakan oleh Yesus.
Dalam membawakan cerita pendek dan ilustrasi, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu:
1. Jangan terlalu panjang, sederhana dan jelas. Walaupun indah, kaca jendela yang bercorak-corak tidak dapat meneruskan sinar matahari.
2. Jangan ber5dusta dalam menceritakan pengalaman atau bsebuah peristiwa.
3. Jangan memberi lukisan yang menyindir suatu golongan atau suku bangsa.
4. Jangan terlalu banyak menggunakan cerita pendek. Rumah memang baik kalau berjendela, tetapi bagaimana kalau semuanya jendela?
Cerita pendek atau ilustrasi dapat diletakkan dimana saja asalkan tidak merusak jalannya khotbah.
H. Membawakan Khotbah.
Berkhotbah atau membawakan khotbah adalah berbeda sekali dengan mempersiapkan khotbah. Sesudah persiapan, akhirnya tibalah saatnya khotbah itu dibawakan. Ini adalah peristiwa yang penting dan terkadang menjadi factor penentu bagi para pemula. Untuk itu dalam berkhotbah sangat perlu diperhatikan beberapa hal, yaitu sebagai berikut:
1. Cara membawakan.
Cara mebawakan khotbah harus benar-benar melibatkan berbagai anggota tubuh lainnya, seperti tangan ataupun raut wajah, sehingga dapat lebih menegaskan maksud yang akan disampaikan.
2. Suara.
Dari sudut usia, kuat dan lemahnya suara seseorang sangat mempengaruhi sebuah penyampaian khotbah, namun dengan teknologi yang ada maka hal ini tidak lagi perlu dikuatirkan, hanya saja yang perlu mendapat perhatian, adalah: Nada Suara (Intonasi), Berbicara dengan terang (Artikulasi), Tempo dan Pergantian dalam Suara.
3. Sikap Badan.
Selain suara yang baik, sebaiknyalah diperhatikan pula sikap badan pengkhotbah, selama ia melakukan tugasnya (Sikap, Pandangan dan Keluwesan bergerak).
5. Cara Penyampaian.
Banyak cara yang bisa kita gunakan dalam penyampaian khotbah. Apakah itu dengan cara dibacakan, mencatat garis-garis besar ataukah dengan cara melatihnya terlebih dahulu dan dihafalkan. Hal ini sangat tergantung dengan kenyamanan kita dan dengan memperhatikan pendengar yang ada.
I. Contoh Khotbah Sederhana.
Pembacaan Alkitab: Markus 10:43b – 45.
Saudara-saudara yang saya kasihi,
Ada dua tipe orang kalau bicara soal memberi: ada yang memberi untuk hidup, ada yang hidup untuk memberi. Kedua tipe orang ini tidak hanya punya kebiasaan memberi yang berbeda, tetapi juga filosofi kehidupan yang berbeda.
Mereka yang memberi untuk hidup senantiasa bertanya, ”Berapa banyak yang harus saya berikan?” Karena tujuannya adalah memberi ”secukupnya saja.” orang seperti ini puas dengan hal-hal yang kecil saja.
Orang yang hidup untuk memberi akan selalu bertanya, ”Berapa banyak lagi yang diperlukan?” Sering kali mereka akan terus-menerus menanggapi satu kebutuhan yang sama sampai hal itu benar-benar terpenuhi. Kesukaan mereka adalah menyelesaikan suatu masalah dan memenuhi kebutuhan yang ada. Orang semacam ini berurusan dengan hal-hal yang besar.
Contoh yang paling nyata adalah pengorbanan yang diberikan oleh Yesus Kristus. Dalam pembacaan kita, ayat 45 berkata: ”Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” Yesus tidak pernah bertanya kepada kita, ”apakah yang bisa kita balas untuk pengorbanan-Nya.” Tetapi Dia sementara menatap kita untuk bertanya, ”apakah kita bisa hidup untuk memberi bagi orang lain?”
Saudara-saudara yang diberkati Tuhan,
Orang yang ”memberi untuk hidup” jarang sekali bahagia. Alasannya sangat jelas. Motivasi mereka juga salah; oleh sebab itu imbalan yang diharapkan tidak akan pernah cukup. Orang semacam ini egois dan selalu takut mendapatkan terlalu sedikit.
Sekarang lihatlah pada orang yang hidup untuk memberi. Kepuasan mereka datang saat sudah tidak ada lagi kebutuhan yang perlu dipenuhi. Mereka sungguh bahagia saat memberi. Mengapa demikian? Karena kesukaan mereka adalah menolong orang lain. Mereka sudah cukup senang melihat senyuman terima kasih.
Untuk bisa menjadi seperti ini, maka kita harus sadar bahwa batas rasa egois, ketamakan dan keinginan pribadi harus mampu diterobos, sehingga ketika batas-batas ini boleh dilewati maka kita mulai hidup bagi orang lain dan bukan bagi diri sendiri.
Inilah juga yang dimaksud dengan menyangkal diri, yaitu dengan merendahkan diri kita dan menjadi hamba bagi sesama. Apakah kita mampu?
Amin.
Friday, February 27, 2009
Melayani dan Berkhotbah
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment