Sunday, July 25, 2010

Apakah The Da Vinci Code “adalah penyerangan yang paling serius terhadap Kekristenan”?

Sudah menjadi rahasia umum apabila saat ini penyerangan terhadap Kekristenan baik di Amerika, Inggris dan di belahan bumi lainnya mengalami peningkatan yang luar biasa baik di media-media, sekolah, pengadilan dan yang paling sering adalah gereja. Dalam budaya yang secara sistematis berusaha untuk terus mendiskreditkan atau menjelekkan Kristus dan FirmanNya, Dr. Erwin Lutzer seorang pakar teologia yang juga adalah seorang pendeta untuk wilayah Chicago telah melakukan suatu penelitian dan berkesimpulan bahwa: “The Da Vinci Code merupakan penyerangan paling serius terhadap Kekristenan yang pernah saya saksikan.”[1]
Terlepas dari pernyataan yang begitu berani, mari kita lihat lebih jauh tentang novel karya Dan Brown yang begitu terkenal ini, dan akibat yang mungkin terjadi terhadap gereja dan kebudayaan.


Novel
Bagaimanapun Dan Brown telah mampu membuat kita percaya bahwa “seluruh penjelasan tentang karya seni, arsitektur, dokumen-dokumen dan ritual-ritual rahasia dalam novel ini adalah benar-benar akurat,”[2] The Da Vinci Code merupakan karya fiksi, lengkap dengan orang baik, penjahat dan peristiwa-peristiwa berbahayanya. Sang tokoh protaganis, Robert Langdon, pakar pemecah kode dari Harvard, seorang yang memiliki karakter yang tulus tapi pasif dengan sedikit keruwetan. Novel ini menyajikan plot-plot yang bisa disebut luar biasa, dengan kalimat-kalimat yang cukup baik, sehingga tidak mudah terlupakan. Sebagai novel fiksi yang “popular” bisa dikatakan sangat menghibur,[3] namun sesuai dengan jenis novelnya belum tentu mampu menjadi novel klasik. Namun The Da Vinci Code telah menjadi sensasi dunia.
Kejadian utama dalam novel ini yang begitu mampu menarik perhatian adalah tentang suatu teori konspirasi yang mengisahkan bahwa Yesus menikah dengan Maria Magdalena. Setelah kematian Yesus, Maria kabur dengan anak mereka dan menjadi symbol “wanita suci” dari suatu agama pagan kuno.
Teori ini bukan merupakan hal baru bagi Dan Brown; siapapun pelajar yang begitu serius mempelajari tentang sejarah eklesiastikal atau pelajaran tentang gereja pastilah sangat terbiasa dengan tradisi kuno ini (albeit aberrant), yang mana sejak lama telah dinyatakan baik oleh Katolik maupun Protestan adalah merupakan suatu bidah atau pelecehan.[4] Bagaimanapun, seseorang harus melakukan penggalian (bahkan tidak perlu terlalu dalam) terhadap dasar “sejarah” tentang tradisi ini untuk lebih yakin lagi, bahwa semua ini, hanyalah kisah fiksi belaka.
Michael Baigent, Richard Leigh dan Henry Lincoln[5] membuat pernyataan yang mengagetkan sehubungan dengan penelitian yang mereka lakukan:
Kita hanya bisa menelusuri dengan melakukan penyaringan menyeluruh terhadap [Injil] — agar bisa menentukan paragraph mana yang mungkin atau kemungkinan benar … penggalan paragraf yang mungkin dapat membuktikan tentang perkawinan antara Yesus dengan seorang wanita yang disebut sebagai Magdalena. …Dalam rangka mencari hal itu, kami menyadari, bahwa kami harus membaca kata perkata, menjembatani setiap jurang pemisah yang sudah pasti, menilai setiap jeda pada bait-bait syair yang benar. Kami pasti harus berhadapan dengan ketidak telitian, dengan petunjuk-petunjuk, dengan referensi-referensi dan yang terbaik dari semuanya adalah kesalahan semata. [6]
Namun penyerangan yang dilakukan oleh The Da Vinci Code terhadap Kristus dan Firman-Nya, Alkitab, meluncur lebih dalam dari hanya sekedar sebuah penyerangan teori konspirasi kuno belaka. Dengan menanamkan benih keraguan dalam pikiran pembaca tentang keberadaan Alkitab, baik novel maupun film-nya telah melakukan suatu penyerangan langsung terhadap otoritas Kitab Suci. Menurut sejarawan fiksi Leigh Teabing, salah satu tokoh rekaan Tuan Brown,[7] bahwa Kaisar Romawi Constantine telah memilih diantara injil-injil kuno dan memilih yang paling pas dengan agenda politik yang dijalankannya, termasuk juga menciptakan satu buku yang sekarang ini kita kenal sebagai Alkitab.[8] (Dalam kenyataannya, Kitab Suci kanonik belum diajukan pada konsili gereja sampai dengan kematian Constantine—Dewan Nicene Constantine lebih memperhatikan masalah ketuhanan dan kealamian Kristus.) Pelajaran sejarah Tuan Brown yang “fiksional” merupakan kecerdikan pseudo-academic dimana sejarah itu telah berulangkali ditolak oleh para cendikiawan sejarah dan ahli Alkitab.[9]

Idealnya, hanya mereka yang begitu naif yang mau mengambil hal tersebut untuk ditonjolkan sebagai karya fiksi; namun, kebenaran yang menyedihkan adalah banyak orang tidak terlalu mengangap penting Firman Tuhan, dan yang lebih buruk lagi mereka lebih memilih untuk tidak percaya kepada Firman itu.[10] Bagi mereka, kesalahan-kesalahan yang disajikan dengan pintar dalam Novel The Da Vinci Code adalah kebenaran yang mereka butuhkan agar supaya mereka dapat terus menolak otoritas Alkitab.

Ironisnya, hal ini terdapat dalam konteks yang mana pembaca akan diperkenalkan pertama kali kepada hal yang sangat menarik yaitu tentang “Rangkaian Perhitungan Fibonacci dan Proporsi Ilahi.” 


Penyerangan
Apakah pernyataan Pendeta Lutzer bahwa The Da Vinci Code adalah “penyerangan yang paling serius terhadap Kekristenan abad ini” adalah benar? Dalam suatu pengertian dia telah mendekati kebenaran, dalam hal tentang penyerangan terbesar terhadap Kekristenan dan Yesus Kristus, dan dalam maksud tertentu termasuk didalamnya menyerang Firman-firman yang diucapkan Kristus. Bagaimanapun, dalam peperangan ini, The Da Vinci Code hanyalah sebuah roda gigi kecil yang terdapat dalam sebuah roda raksasa. Berapa banyak para ahli teologia dan pemimpin Kristen menyadari bahwa mereka angkat tangan dalam menghadapi karya fiksi yang terus menerus mencoba untuk menyatakan bahwa ke-66 kitab yang terdapat dalam Alkitab tidak dapat dipercaya khususnya pada kitab Kejadian? Suatu hari The Da Vinci Code akan berangsur-angsur menghilang pesonanya, sementara generasi Kristen semakin dalam tenggelam dalam ketidakpercayaan. Disinilah perang sesungguhnya telah menerima hasilnya.
Apakah saudara orang percaya atau bukan dan memilih (dengan keleluasaan) untuk membaca The Da Vinci Code atau menonton filmnya, tetap merupakan hal yang penting untuk mengiinformasikan ke seluruh aspek mengenai penyerangan terhadap Firman Allah ini – apapun bentuknya—dan “siap sedia untuk memberikan jawaban” (1 Petrus 3:15) dengan lemah lembut dan hormat dalam mengatasi berbagai tentangan terhadap injil Yesus Kristus.

Referensi dan Catatan
1. Sebagai kutipan dalam www.cnn.com/2006/SHOWBIZ/books/03/28/life.davinci.reut/index.html, 28 Maret 2006. Kembali ke teks.
2. Dan Brown, The Da Vinci Code (New York: Doubleday, 2003) p. 1. Kembali ke teks.
3. Sebagai sanggahan untuk fiksi yang diklasifikasikan sebagai “karya sastra”; sebuah perbedaan yang digunakan oleh penerbit dan penulis. Kembali ke teks.
4. Pertama kali saya menemukan teori ini ketika sedang mempelajari Perjanjian Baru di sebuah Lembaga Pendidikan Alkitab; dan untuk kedua kalinya dari sebuah karya fiksi yang memasukkan tentang The Da Vinci Code selama beberapa tahun. Kembali ke teks.
5. Penulis Buku Holy Blood, Holy Grail, Delacorte Press, 1982; Baigent dan Leigh baru-baru ini kalah dalam persidangan melawan Brown tentang pelanggaran hak cipta infringement. Kembali ke teks.
6. Sebagai kutipan dalam www.equip.org/free/DH228.htm. Kembali ke teks.
7. Nama Teabing merupakan anagram dari nama Baigent. Sungguh ironis bahwa Brown memilih untuk menggunakan nama Teabing sebagai nama karakter “tenaga ahli”-nya berdasarkan nama Michael Baigent dan Richard Leigh, dimana mereka baru-baru ini mengajukan gugatan litigasi melawan dirinya (perhatikan catatan kaki no 5). Kembali ke teks.
8. Brown, pp. 231-235. Kembali ke teks.
9. Banyak dari artikel-artikel dan buku-buku bagus yang mendengungkan bantahan terhadap pernyataan yang dibuat oleh Dan Brown. Salah satu sumber yang cukup istimewa yang dapat membantu adalah The Real History Behind The Da Vinci Code oleh Sharan Newman, seorang ahli sejarah (secular), Berkeley Books, New York, 2005. Bagaimanapun, diharapkan sekali untuk membaca ini—dan bahan-bahan penuntun lain—seperti yang dilakukan oleh jemaat di Berea (Acts 17:11). Kembali ke teks.
10. Roman 1:25. Kembali ke teks.
Diterjemahkan oleh: Yuni Sihombing
Penulis: Melinda Christian, Answers in Genesis USA


No comments:

Post a Comment