Thursday, February 26, 2009

Menafsirkan Kitab Wahyu

Menafsirkan Kitab Wahyu


Beberapa Kisah di Dalam Satu Kitab
Hubungan yang jelas antara ayat-ayat pembukaan dan penutup kitab Wahyu yang mencirikan kitab ini a.l. sebagai surat. Maka awal (1:1-8) dan akhir (22:6-21) kitab, kita pandang sebagai bingkai surat untuk seluruh kisah. Kita bertanya apakah kejadian-kejadian yang disajikan di tengah bingkai itu menunjukkan suatu urutan dengan hubungan sebab akibat? Apakah kejadian yang satu membawa kepada yang berikut. Apakah ada alur cerita dalam kejadian-kejadian yang susul menyusul dalam kitab Wahyu? Memang, hal itu langsung jelas sebab perkembangan cerita-ceritanya amat kaya dan kompleks. Apakah di dalamnya kita dapat menemukan kejadian-kejadian pokok yang berkaitan satu sama lain secara sebab musabab dan mendorong rangkaian kejadian itu bergerak maju?
Dalam menelusuri alur kisah itu, kita amat dibantu oleh penelitian David Barr yang menemukan bahwa Yohanes menceritakan tiga kisah. Dalam kisah pertama diceritakan apa yang dialami oleh Yohanes di pulau Patmos; di situ seorang Anak Manusia yang sangat mulia menampakkan diri kepadanya dan mendikte tujuh surat kepada tujuh jemaat di Asia (Why. 1:9 - 3:22). Dalam kisah kedua yang lebih panjang (4 - 11) Yohanes menceritakan bahwa ia dibawa ke surga di mana ia melihat ruang takhta Allah dan Anak Domba yang disembelih membuka ketujuh meterai gulungan kitab, dan ia mendengar tiupan tujuh sangkakala dengan peristiwanya masing-masing. Dalam kisah ketiga yang paling panjang (12 - 22) seekor naga kosmis mengejar seorang perempuan dan keturunannya, tetapi akhirnya dikalahkan oleh penunggang kuda putih; kemenangan itu membuka jalan bagi langit dan bumi yang baru.
Melalui tiga kisah ini para pendengar dibawa dari dunia biasa di Patmos dan Asia Kecil melalui ruang takhta ilahi di surga, ke suatu medan peperangan kosmis yang sangat luar biasa.
Kisah Pertama Kisah Kedua Kisah Ketiga
Tempat Patmos Surga Bumi
Tokoh-Tokoh - Yesus yang mulia
- Yohanes
- Gereja-gereja di Asia - Domba yang disembelih
- Penatua-Penatua
- Makhluk-makhluk Hidup - Prajurit Surgawi
- Naga & Binatang-binatang
- Perempuan & Anak-anaknya
Aksi Penulisan Surat-surat Ibadat Perang
Yohanes sebagai Penulis Pesiar surgawi Pelihat/nabi
Paradigma Penampakan Visiun Tkhta Perang Suci
Pasal-pasal 1:9 - 3:22 4:1 - 11:18 11:19 - 22:21

Masing-masing kisah besar mengandung suatu rangkaian aksi-aksi pokok yang berkaitan satu sama lain secara sebab musabab, tetapi sambungan kausal seperti itu tidak ada pada peralihan dari kisah besar yang satu kepada yang lain. Serangan naga terhadap keturunan perempuan dalam pasal 12 (awal kisah besar ketiga) tidak terjadi sebagai lanjutan atau akibat ibadat kemenangan di surga dalam pasal 11. Dan ibadat surgawi yang Yohanes saksikan di surga dalam kisah kedua bukanlah lanjutan dari penulisan surat-surat kepada jemaat-jemaat dalam kisah pertama. Masing-masing kisah menceritakan cerita yang utuh dari sudut yang lain. Ketiganya merupakan kisah-kisah alternativ tentang Yesus, dengan menyajikan tema-tema bersama, tetapi dengan cara yang berbeda.
Bagaimana Menafsir Kisah Itu?
Sejak awal gereja sudah muncul masalah dan selisih pendapat tentang cara menafsirkan kitab Wahyu, misalnya antara interpretasi harfiah mazhab Antiokhia dan interpretasi alegoris mazhab Aleksandria. Perbedaan pendekatan ini berlanjut terus sampai hari ini. Dan oleh perjalanan waktu maka secara umum dihasilkan tiga perspektif dalam melihat kitab Wahyu, yaitu Perspektif Sejarah Kuno, Persepktif Sejarah Dunia/Gereja hingga sekarang, Perspektif Masa Depan dan Perspektif Simbolis - Non Historis.
Masing-masing perspektif memiliki kelemahan dan kekuatannya, dan untuk itu kita pasti tetap bertanya tentang cara terbaik menafsirkan kitab Wahyu. Tampaknya, perspektif yang melihat kisah Wahyu sebagai cerminan sejarah dunia dan gereja, sekarang tak banyak dipakai. Tetapi ketiga yang lain masih kuat. Bersama sejumlah buku tafsir yang terbaik, kita dapat mengambil sesuatu dari ketiganya itu.
Kita hendaknya menafsirkan kisah Wahyu dengan pertama-tama tetap mengakui bahwa surat bersama penglihatan dalam kitab ini pertama kali muncul dalam kaitan dengan pengalaman sejarah Yohanes dan umatnya, dan karena itu kita sebagai penafsir tetap ingin mempelajari masalah-masalah apa yang dialami oleh jemaat-jemaat Asia Kecil berdampingan dengan umat Yahudi dan di tengah kerajaan Romawi pada paruh kedua abad pertama itu. Meskipun penelitian sejarah itu tidak bisa mengungkapkan makna kitab untuk kita sekarang namun dapat menjaga kita dari aneka macam salah pengertian sekarang.
Untuk menemukan maknanya untuk kita sekarang, kita harus berusaha memahaminya sebagai kisah yang bersifat apokaliptis, sebagai penyingkapan simbolis atas kehidupan jemaat Kristen yang diajak untuk setia mengikut Kristus, juga dengan memanggul salib, di tengah kekuatan-kekuatan dunia yang bertolak belakang dengan nilai-nilai kerajaan Allah, sambil percaya bahwa Kristus memimpin jemaat-Nya yang rapuh kepada suatu kemenangan, kendati bukan kemenangan ala dunia.
Dalam kitab Wahyu, kemenangan itu dinubuatkan dalam bahasa simbolis dan bukan dalam penggambaran realistis. Maka kita tidak dapat menyimpulkan dari nubuat kitab Wahyu dengan cara mana dan dalam bentuk peristiwa sejarah mana Kristus akan datang dan membawa kemenangan. Yang dapat kita lihat ialah bahwa penunggang tidak membawakan kemenangan dengan pedang di tangannya tetapi dimulutnya, dengan sabda Injil sebagai pedang bermata dua yang mampu menembus hati manusia. Kapan dan dalam rupa apa pun kelak datang kemenangan itu adalah suatu kemenangan paradoksal sebagaimana kita kenal dari Injil. Karena itu kitab Wahyu pada hemat saya disalahgunakan kalau dipakai untuk mengobarkan semangat perang, entah perang salib, atau perang sesesi di Amerika, atau perang Teluk, atau perang saudara di Uganda atau pun di Indonesia.

Sastra Apokaliptik yang Penuh Perlambang
Paruh kedua kitab Wahyu diwarnai oleh jenis cerita perang, tetapi cerita perang ini sangat berbeda dengan cerita-cerita perang kemerdekaan, perang antarbangsa, atau perang saudara yang kita kenal sekarang. Cerita perang kitab Wahyu melibatkan kekuatan-kekuatan adikodrati. Seperti beberapa kali dalam Perjanjian Lama, Tuhan sendiri memimpin perang dan menugaskan malaikat-malaikat-Nya untuk berperang bagi Israel (seperti Mikhael dalam Daniel 10). Cerita perang ini ada kemiripan dengan cerita-cerita mitologis, dimana peperangan kuasa-kuasa “di atas” menjadi cerminan peperangan di dunia, seperti misalnya cerita perang purba antara dewa Marduk lawan naga Tiamat, sebagai ungkapan penegakan dunia. Demikian juga perang dalam sastra apokaliptik tidak berdimensi politis melainkan kosmis; bukan perjuangan untuk mengalahkan bangsa lain, tetapi untuk mengatasi kejahatan dan khaos, guna mengokohkan dunia dan memulihkan keadilan serta tata tertib kosmis. Artinya, cerita-cerita apokaliptis seperti ini perlu dibaca dan diartikan sebagai ungkapan simbolis dari makna yang terdalam hidup kita.

Makna Simbolis Pelbagai Tokoh
Memahami kitab Wahyu, kita tidak boleh terjebak pada usaha mengartikan Simbol-simbol yang ada pada sejarah real dari sejarah manusia karena hanya akan mendatangkan pertengkaran dan usaha untuk mempersalahkan tokoh atau kelompok serta peristiwa tertentu. Untuk itu yang dapat dilakukan adalah mulai mencermati apa makna dari Simbol-simbol yang ada dalam usaha pemaknaan terhadap kehidupan manusia itu sendiri.
Untuk di saat ini kita hanya akan melihat sebuah usaha pemakanaan terdapa simbolisasi yang ada.
Dalam cerita perang ini tampil puluhan tokoh, berupa manusia, binatang, malaikat, kelompok, dan gejala alam. Ada yang merusak, ada yang menyelamatkan, dan ada yang diselamatkan.

Tokoh-Tokoh Perusak
Salah satu yang paling pertama adalah ULAR NAGA (ia mirip dengan Tiamat dalam cerita kejadian dunia dari Babel). Naga itu digambarkan mengklaim kuasa yang luar biasa besar dan menakutkan (dilambangkan dengan “berkepala tujuh dan bertanduk sepuluh”) dan sangat destruktif (ekornya melemparkan sepertiga dari bintang-bintang ke bumi; 12:3a). Naga itu sendiri dilemparkan dari surga ke bumi (12:7b). Celakalah bumi! Naga itu berusaha tetapi gagal menelan Anak (12:5) dan memburu perempuan (12:13-16); lalu memerangi anak-anaknya yang lain (agaknya jemaat Kristen, pertama-tama yang menjadi alamat tulisan Yohanes 12:17). Apa yang dimaksud dengan naga itu? Syukurlah, kitab Wahyu sendiri membantu kita dengan mengartikannya sebagai Iblis atau Setan (12:9). juga lewat sebutan “ular tua”, naga itu dikaitkan dengan ular, lambang kejahatan, yang menjatuhkan manusia di Eden (Kej. 3). Naga itu adalah yang jahat sendiri yang menunjuk kekuatan dan kuasa yang dahsyat.
BINATANG YANG KELUAR DARI LAUT mirip dengan naga yang berkepala tujuh dan bertanduk sepuluh (13:1). Ia memiliki ciri tambahan: salah satu kepalanya kena luka yang membahayakan hidupnya tetapi ia sembuh dari pukulan yang mematikan itu (13:3). Bagi pembaca asli, binatang yang berkepala tujuh tampak mengacu kepada kaisar-kaisar Romawi, sebab dalam 17:11a ketujuh kepala diartikan sebagai tujuh raja. Di situ salah satu raja - yang pernah ada tetapi sekarang tak ada - dikatakan akan kembali sebagai raja kedelapan. Kalimat ini menggoda banyak penafsir “sejarah masa kuno” untuk memulai menghitung-hitung. Mungkinkah kepala yang menerima pukulan maut mengacu kepada Julius Caesar, raja paling pertama dibunuh dan kemudian disembah sebagai ilah? Ataukah kepada kaisar Nero yang membunuh diri, tetapi sesungguhnya dikira melarikan diri ke timur untuk merebut kembali kerajaan dengan bantuan raja-raja Parthia (legenda Nero redivivus)? Segala perkiraan itu sulit dipastikan. Yang cukup jelas ialah bahwa binatang yang berkepala tujuh pernah mengacu kepada kaisar-kaisar Romawi. Mereka disembah sebagai ilah (pada kepalanya ditulis nama-nama hujat). Angka tujuh tidak mesti berarti jumlah tujuh tetapi bisa mencakup para penguasa itu secara lengkap. Dari situ binatang itu dapat diartikan melambangkan segala kekuasaan dunia yang menjadi kaki tangan kuasa jahat.
Adapun bilangan 666 (13:18, “barang siapa yang bijaksana, baiklah ia menghitung bilangan binatang itu, karena bilangan itu adalah bilangan seorang manusia, dan bilangannya ialah enam ratus enam puluh enam”), angka itu menyangkut binatang tersebut. Pendekatan “perspektif masa lampau” tentu mencoba mengartikannya sebagai nama salah seorang kaisar Romawi. Itu dilakukan dengan bantuan gematria yaitu dengan menjumlahkan nilai angka dari huruf-huruf sebuah kata, misalnya kalau nilai numerik dari huruf-huruf Ibrani qsr nrwn (kaisar Nero) dijumlahkan, hasilnya - menurut hitungan beberapa pakar - adalah 666. Pakar lain mengusulkan nama lain (Julius Caesar, dan bahkan Joseph Stalin, Adolph Hitler atau Bill Gates) dan sampai sekarang tak ada kesepakatan sebab tak satupun usul nama yang persis klop dengan jumlah 666. Penghitungan seperti ini kiranya juga terlalu sulit untuk bisa dilakukan oleh jemaat-jemaat di Asia. Karena itu pendekatan “perspektif simbolis” tidak lagi mengidentifikasikannya sebagai “bilangan seorang manusia” (aritmos anthropus) tertentu tetapi sebagai “bilangan manusia”. Diusulkan bahwa angka 666 (satu kurang dari 777 yang adalah angka kesempurnaan) menunjuk kepada klaim kekuasaan manusiawi yang tinggi tetapi selalu gagal mencapai kesempurnaan ilahi.


Tokoh Penyelamat
Berhadapan dengan tokoh-tokoh pembinasa itu ditampilkan tokoh-tokoh penyelamat. Yang utama di antaranya adalah ANAK DOMBA yang disebut belasan kali dalam kisah ketiga. Kita sudah mengenalnya dari kisah kedua, di mana Yohanes melihat “berdiri seekor Anak Domba seperti telah disembelih” (Why. 5:6), lambang Kristus (Anak Daud dan Singa Yehuda) yang memperoleh kemenangannya dengan memberikan nyawa-Nya. Dalam 14:1 dst., Anak Domba berdiri di Bukit Sion bersama 144.000 saksi yang dimeteraikan dengan nama-Nya dan yang telah ditebus dari bumi. Sungguh mengagetkan bahwa tokoh yang membela mereka terhadap koalisi naga dan kedua binatang digambarakan sebagai Anak Domba. Berkaitan dengan ini perlu diperhatikan bahwa bab terakhir dengan ucapan bahagia bagi orang-orang mati yang mati dalam Tuhan. Di sini sekali lagi dijungkirbalikkan gagasan kemenangan yang lazim. Kemenangan bukanlah bersifat penaklukan musuh dengan kekuatan senjata fisik yang unggul, tetapi kemenagan itu sudah terwujud ketika Anak Domba disembelih; dan dilestarikan dalam kesaksian para martir selanjutnya.
Tokoh penyelamat itu kemudian ditampilkan kembali sebagai PENUNGGANG KUDA PUTIH yang turun dari surga dan dilawan oleh binatang bersama raja-rajanya (19:11 dan 19). Sebilah pedang keluar dari mulutnya (19:12, 15, 21); dan jubahnya dicelup dalam darah. Gambaran ini mengingatkan kita kembali akan Anak Domba yang telah disembelih (19:13; bdk. 7:14). Penunggang kuda putih ini melambangkan kemenangan Kristus yang diperoleh bukan dengan kekuatan senjata biasa, tetapi dengan firman-Nya dan dengan memberikan nyawa-Nya. Maka menjadi sangat aneh kalau dewasa ini ada kelompok-kelompok yang mengobarkan semangat perang Teluk dengan mengacu kepada penunggang kuda putih ini sebagai penghulu perang Teluk itu. Kemenangan Kristus dalam kitab Wahyu justru merupakan kebalikan dari kemenangan yang kini ingin diperoleh dengan kekerasan fisik dan gagal. Kitab Wahyu disalahgunakan.

Yang Diselamatkan
Pada awal kisah ketiga, kita mendengar tentang seorang PEREMPUAN YANG “BERSELUBUNG MATAHARI, dengan bulan di bawah kakinya dan sebuah mahkota dari dua belas bintang di atas kepalanya” (12:1). Ia dikatakan sedang mengandung dan melahirkan seorang anak, lari ke padang gurun, diburu oleh naga, diberi dua sayap burung nasar sehingga selamat, dan mempunyai anak-anak lain. Pendengar yang akrab dengan tradisi Israel (dua belas suku, melahirkan Mesias, diselamatkan di padang gurun, didukung di atas sayap rajawali, ibarat “isteri” Allah) mudah melihat di dalam gambaran perempuan ini suatu perlambang umat Israel, umat Allah masa lampau, yang melahirkan Mesias.
KETURUNANNYA YANG LAIN yang diperangi oleh naga (12:17) digambarkan sebagai umat yang menuruti hukum Allah dan memiliki kesaksian Kristus. Perlindungan bagi mereka diberi oleh Anak Domba yang berdiri di Bukit Sion, bersama 144.000 orang yang dimeteraikan dengan nama Anak Domba dan Nama Bapa (14:1) bdk. 7:1) dan yang sudah ditebus dari dunia. Sebagai orang yang disebut “tidak bercela” mereka memenuhi syarat sebagai kurban sulung (bdk. Im. 1:10). Dengan kata lain, merekalah jemaat yang sama seperti Anak Domba memperoleh kemenangan melalui kematian mereka sebagai saksi yang setia.
Ada seorang perempuan lagi, PENGANTIN PEREMPUAN ANAK DOMBA (19:7). Ia melambangkan umat Allah masa depan. Karakternya lebih kompleks sebab ia juga digambarkan sebagai suatu kota yang kudus, Yerusalem yang turun dari surga (21:2). Pengantin perempuan atau Yerusalem baru itu adalah umat Allah yang utuh dengan dua belas sukunya, umat baru yang didasarkan pada kedua belas rasul.
Dalam perempuan yang melahirkan anak, dalam keturunannya yang lain yang berjuang bersama Anak Domba, dan dalam pengantin perempuan Anak Domba, Kisah Perang ini menghadirkan masa lampau, masa sekarang dan masa depan dari umat yang diselamatkan Tuhan.

Arti Simbolis Dari Angka, Tempat dan Waktu.
Dalam kitab Wahyu terdapat banyak angka. Sejumlah diantaranya (empat, tujuh, dan duabelas) umumnya disetujui tidak mempunyai arti harfiah tetapi simbolis. Angka “tujuh” yang dipakai puluhan kali, merupakan angka kesempurnaan, kegenapan, kelengkapan. Juga angka “empat” menunjukkan suatu kelengkapan, khususnya dalam arti universal, dari segala penjuru dunia. Angka “duabelas” pun menunjukkan suatu keutuhan, bangsa dengan segala sukunya. Semua angka ini tampak mengungkapkan juga bahwa peristiwa-peristiwa yang bersangkutan diatur oleh Tuhan, maka dapat diandalkan, dan bukan hal-hal kebetulan saja. Mengingat arti simbolis beberapa angka ini, pembaca menjadi terbuka bagi kemungkinan bahwa beberapa angka lain juga memiliki arti simbolis. Kita sudah melihat angka 666 dan 144.000. Bagaimana misalnya dengan angka 1000, masa seribu tahun pemerintahan Kristus?
Dalam cerita ada beberapa nama tempat yang bunyinya sama atau mirip dengan nama di dunia nyata, seperti Sion (14:1), Yerusalem (21:2, 10), Babel (17:5; 18:2, 10, 21), Mesir (11:8), Sodom (11L:8), Harmagedon . Nama-nama dalam cerita itu tidak mengacu kepada tempat-tempat itu secara harfiah melainkan simbolis. Di dunia nyata, secara geografis, tempat-tempat itu sangat jauh baik bagi para pendengar di Asia Kecil maupun bagi pembaca kemudian, tetapi secara simbolis sebaliknya amat dekat, sepertinya hadir di tengah dunia mereka sendiri.
Dari segi waktu, perang diceritakan dari perspektif masa perjuangan jemaat, yakni masa setelah naga dilemparkan ke bumi dan binatang-binatang keluar dari dalam laut dan bumi, masa ketika mereka ini sedang menyesatkan banyak orang di bumi, masa sebelum naga bersama binatang dan nabi palsu menelan kekalahan total dan Yerusalem yang baru turun dari surga. Itulah masa perjuangan umat Allahj sepanjang sejarah, dan tidak mungkin untuk mengidentifikasikannya dengan momen tertentu (misalnya Perang Dunia II, Perang Teluk, Tsunami di Aceh dlsb) dalam sejarah perjuangan umat itu.
Yang mempersulit para pendengar kisah kitab Wahyu adalah banyaknya pengulangan. Misalnya, kuasa-kuasa yang jahat beberapa kali menyerang orang-orang kudus dan dikatakan mengalahkan mereka (13:4, 7; juga dalam 11:7). Tiga kali pula hasilnya terbalik: kuasa-kuasa jahat berkumpul untuk berperang melawan kekuatan-kekuatan Tuhan tetapi dikalahkan (16:14, 19:19, 20:8; bdk. juga 17;14). Tak jelas apakah itu merupakan cara-cara yang berlainan untuk menyampaikan cerita yang sama; atau memang dimaksudkan sebagai kejadian-kejadian yang berbeda dalam suatu perang yang berkepanjangan. Yang minimal dapat dilihat ialah adanya dua momen dalam perang. Mula-mula, naga dkk, menyerang serta mengalhkan orang-orang kudus; kemudian, naga dkk menyerang tetapi dikalahkan oleh Anak Domba serta pengikut-Nya. Pengulangan sering dengan hasil yang bergeser itu membuat cerita bukan hanya tetap tegang, tetapi juga menyakinkan pendengar akan hasil akhir. Lebih lagi, pembaca diharapkan menangkap bahwa hasil yang kelihatan bertentangn itu sesungguhnya hanya tampak demikian, sebab kematian Yesus dan para pengikut-Nya yang mula-mula kelihatan sebagai tanda kemenangan naga dkk, ternyata justru menjadi jalan kemenangan Yesus dan para pengikut-Nya. Kisah dalam kitab Wahyu selangkah demi selangkah mengubah pandangan pembaca tentang apa yang sesungguhnya terjadi dalam perjuangan itu.
Sulit untuk mendapat gambaran jelas tentang tempat dan waktu seluruh perang kosmis itu, tetapi kesulitan itu sangat efektif dalam memindahkan pendengar dari waktu dan temapt yang normal (waktu dan temapt ketujuh jemaat) memasuki dimensi lain, yakni ruang dan waktu suatu perjuangan kosmis yang ditandai penghancuran khaotis dan membawa pembaharuan yang melampaui dunia biasa. Perjuangan itu tidak terjadi di tempat (dunia) dan dalam waktu (sejarah) yang normal dan juga tidak secara lurus mengantar ke suatu masa depan, seperti diharapkan dalam suatu cerita sejarah atau ramalan masa depan yang biasa. Kisah perang dan perjuangan kosmis ini melampaui waktu dan ruang kita yang biasa guna mengungkapkan apa yang sesungguhnya terjadi dan merupakan tujuan terdalam dari dunia dan sejarah kita ini.

No comments:

Post a Comment