Friday, February 27, 2009

”Malam Getsemani” (Sebuah meditasi bersama Yesus di saat-saat Terakhir-Nya)

”Malam Getsemani”
(Sebuah meditasi bersama Yesus di saat-saat Terakhir-Nya)



PERSIAPAN
– Sebaiknya ruangan yang disiapkan dapat berbentuk segi empat agar anggota jemaat dapat saling melihat satu dengan lainnya.
– Untuk Orang Tua yang membawa anak-anak, kiranya dapat menjaga kekhidmatan jalannya ibadah.
– Penerangan yang ada sebaiknya menggunakan lilin, untuk mendukung sebuah suasana meditasi (Kotemplasi)
– Sebelum Ibadah dimulai, disiapkan kain dan air pembasuhan.


DIA YANG BERJALAN DI TENGAH DEBU
MENUJU YERUSALEM?
(Jemaat berdiri)
P Lalu Yesus bertanya kepada mereka: “Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?”
J Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!”
Menyanyi,
KJ.No.13:2 “Allah Bapa Tuhan"
Yesus Kristus, Tuhan,
yang membawa kes'lamatan,
lahir dalam dunia ini,
mati tapi bangkit lagi,
Kaulah Jurus'lamat kami!

PENGKHIANATAN YUDAS
(Jemaat duduk)
Pnt Memang kematian Yesus sudah direncanakan, tetapi tidak mudah dilaksanakan. Para musuh takut kepada rakyat dan berkata satu sama lain, "Jangan pada waktu perayaan, supaya jangan timbul keributan di antara rakyat".
Sym Tidak lama kemudian Yudas anak Simon, seorang diantara kedua belas rasul, datang menawarkan bantuan yang sangat diperlukan oleh mereka. Pada malam yang sama, Yesus bersama para murid-Nya pergi ke bukit Zaitun seperti biasanya. Yudas segera memisahkan diri dari kawan-kawan-Nya dengan alasan untuk pergi berbelanja; tetapi sebenarnya ia mempunyai tujuan lain. Dialah yang memegang uang kas, tetapi sedikit demi sedikit ia menjadi kikir dan pencuri.
Pnt Memang ia masih mengikuti Yesus, tetapi hanya dengan harapan agar dapat memuaskan kehausannya akan harta duniawi. Ternyata harapan itu makin lama makin lenyap. Maka ia mengambil kesimpulan: lebih baik meninggalkan Yesus, menyerahkan-Nya kepada musuh, sehingga ia mendapat sejumlah uang yang sangat diinginkannya.
Sym Yudas berkeliling di dalam kota, keluar masuk Kenisah, dan ia mendengar desas-desus tentang Yesus. Ia pun mengetahui bahwa pada malam itu imam-imam kepala mengadakan rapat penting untuk membunuh Yesus, serta pemberian hadiah istimewa bagi orang yang dapat menyerahkan Yesus ke tangan mereka.
Pnt Yudas senang hatinya mendengar hal itu dan segera lari ke rumah Kayafas, menghadiri sidang dan menawarkan diri untuk mengkhianati Yesus asal mendapat imbalan yang memuaskan.
Menyanyi,
”Bukan Dengan Barang Fana”
Bukan dengan barang fana Kau membayar dosaku
Dengan darah yang mahal tiada noda dan cela
Bukan dengan emas perak Kau menebus diriku
Oleh segenap kasih dan pengorbanan Mu
Refr: Kutelah mati dan tinggalkan
Cara hidupku yang lama semuanya sia-sia
Dan tak berarti lagi hidup ini kuletakkan
Pada mesbahMu ya Tuhan
Jadilah padaku seperti yang kau ingini

PEMBASUHAN KAKI
Seorang Anggota Komisi Pelayanan Doa dan Penginjilan (atau Komisi lainnya),
Kemudian Yesus bangun dari tempat duduk-Nya, menanggalkan jubah-Nya, mengambil sehelai kain putih dan mengikatkannya pada pinggang-Nya itu. Ketika sampai pada Petrus, ia berkata kepada-Nya, "Tuhan, Engkau hendak membasuh kakiku?" Yesus menjawab, Äpa yang Kuperbuat sekarang, engkau belum mengerti, tetapi kemudian Engkau akan mengerti." Lalu Petrus berkata kepada-Nya," Sampai kapanpun Engkau takkan membasuh kakiku". Kata Yesus kepadanya, "Kalau engkau tidak membiarkan Aku membasuhmu, engkau takkan memperoleh bagian dari-Ku."
Menyanyi,
"Melayani, Melayani"
Melayani, melayani lebih sungguh
melayani, melayani lebih sungguh
Tuhan lebih dulu melayani kepadamu
Melayani, melayani lebih sungguh.

(ay. 2 ”melayani” diganti dengan ”mengasihi”)

(Penatua, Syamas dan seluruh Koordinator BIPRA membasuh kaki dari seluruh anggota jemaat yang hadir)

Seorang Anak Sekolah Minggu (Perempuan),
"Bersabdalah Yesus, "Mengertikah kamu yang telah Kuperbuat kepadamu? Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan. Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamu pun wajib saling membasuh kakimu.""

(Penatua, Syamas dan seluruh Koordinator BIPRA saling membasuh kaki)

Seorang Anak Sekolah Minggu (Laki-laki),
Äku berkata kepadamu: sesungguhnya seorang hamba tidaklah lebih tinggi daripada tuannya, ataupun seorang utusan daripada yang mengutus. Jikalau kamu tahu semua ini, maka berbahagialah kamu, jika kamu melaksanakanya". (Yoh. 13:12-17)

PERJAMUAN TERAKHIR
Koordinator P/KB,
Menurut kebiasaan orang Yahudi, pada permulaan perjamuan diedarkan piala berisi anggur untuk dinikmati oleh para peserta. Sesudah sembahyang, mengambil piala dan mengedarkannya secara bergilir kepada para tamu merupakan hak kepala keluarga. Yesus mengikuti kebiasaan tersebut. Pada kesempatan itu Dia mengucapkan kata-kata yangmengharukan ini, "Aku sangat rindu makan Paskah ini bersama-sama dengan kamu, sebelum Aku menderita. Sebab Aku berkata kepadamu: Aku tidak akan memakannya lagi sampai ia beroleh kegenapannya dalam Kerajaan Allah"
Pertanyaan Diskusi:
1. Bila Yesus sangat merindukan untuk selalu bersama-sama dengan kita. Apakah kita juga merindukan untuk duduk sehidangan dengan-Nya?
2. Apakah makna dari sebuah pengorbanan bagi pribadi kita dan dalam persekutuan?
(Marilah pertanyaan ini direnungkan selama beberapa saat dan bila memungkinkan maka sebaiknya dilakukan diskusi kecil)
Menyanyi,
KJ.No. 401 "Makin Dekat Tuhan"
Makin dekat Tuhan kepadamu;
Walaupun saliblah mengangkatku,
inilah laguku: Dekat kepada-Mu;
makin dekat, Tuhan, kepada-Mu

(ay.2) Berbantal batu pun 'ku mau rebah,
bagai musafir yang lunglai, lelah,
asalah di mimpiku dekat kepada-Mu;
makin dekat Tuhan, kepada-Mu

INILAH PERINTAH-KU
Koordinator W/KI,
Hati Yesus merupakan sumber cinta kasih yang melimpah, dan oleh cinta kasih itu Dia meneruskan percakapan-Nya, "Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah Aku telah mengasihi kamu; tinggallah di dalam kasih-Ku, seperti Aku menuruti perintah Bapa-Ku dan tinggal di dalam kasih-Nya. Semuanya itu Ku katakan padamu, supaya sukacita-Ku ada di dalam kamu dan sukacitamu menjadi penuh. Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu.
Marilah kita berdoa,
(Diisi dengan doa pribadi untuk pengakuan dosa dan doa untuk menyatakan harapan pribadi serta keluarga. Doa kemudian dilanjutkan dalam bentuk nyanyian)

KJ.No.467:1,2 dan 3 "Tuhanku, Bila Hati Kawanku"
Tuhanku, bila hati kawanku terluka oleh tingkah ujarku,
dan kehendakku jadi panduku, ampunilah.

Jikalau tuturku tak semena dan aku tolak orang berkesah,
pikiran dan tuturku bercela, ampunilah.

Dan hari ini aku bersembah serta pada-Mu, Bapa, berserah,
Berikan daku kasih-Mu mesra. Amin, amin.

(Berjabat tangan dalam kasih dan pengampunan)
GETSEMANI
Seorang Pemuda,
Nampaknya seolah-olah Yesus tidak dapat mengakhiri percakapan-Nya, karena cinta-kasih-Nya yang melimpah kepada para murid-Nya yang tak lama lagi akan ditimpa cobaan hebat.
Yesus kemudian berjalan bersama kesebelas murid-Nya, menyeberangi sungai Kidron melalui jembatan batu, menuju ke taman Zaitun. Yesus sering berkumpul di situ bersama para murid-Nya untuk berdoa dan bermalam. Dari lembah naik ke taman Zaitun melewati jalan kecil yang terpahat pada cadas, membujur di tengah-tengah dua tembok kecil. Yesus melewati jalan itu, tetapi Dia nampak lain daripada biasanya, seolah-olah bukan lagi Dia: Pendiam, sedih dan selalu mendahului para rasul-Nya. Mereka merasa heran dan cemas karena perubahan yang nampak pada wajah Gurunya. Perubahan itu menandakan bahwa sesuatu yang sangat hebat terjadi.
Menyanyi,
KJ.No.438 "Apapun Juga Menimpamu"
Apapun juga menimpamu, Tuhan menjagamu.
Naungan kasih-Nya pelindung-Mu, Tuhan menjagamu.
Refr: Tuhan menjagamu waktu tenang atau tegang,
Ia menjagamu, Tuhan menjagamu.

Seorang Remaja,
Yesus berdoa, Ia berlutut dan tersungkur ke tanah. Ia memanjatkan doa pada Bapa-Nya dengan keluhan keras dan ratap tangis, dengan keringat dingin di seluruh tubuh dan peluh darah yang bertetesan ke tanah.
Pnt Doa yang dipanjatkan oleh Yesus dengan sikap yang serendah-rendah, sungguh memilukan, "Ya Bapaku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini berlalu dari pada-Ku; tetapi janganlah seperti yang Ku kehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.
Menyanyi,
KJ.No.460 "Jika Jiwaku Berdoa"
Jika Jiwaku berdoa kepada-Mu, Tuhanku,
ajar aku t'rima saja pemberian tangan-Mu
dan mengaku, s'perti Yesus di depan sengsaraNya:
Jangan kehendakku, Bapa, kehendak-Mu jadilah.
Sym Dalam keadaan terkepung, tertekan dan tertimbun oleh kecemaran manusia, Yesus anak domba yang tak bercela itu meneruskan doa-Nya kepada Bapa.
Setelah beberapa lama, Ia meninggalkan doa-Nya dan pergi mendapati murid-murid-Nya yang tertidur. Dia bertanya kepada murid-murid-Nya dan juga kepada kita, "Tidakkah kamu sanggup berjaga-jaga dengan Aku?" Bangunlah, berjagalah dan berdoalah, supaya kamu tidak jatuh ke dalam pencobaan. Roh memang penurut tetapi daging lemah.
Menyanyi,
DSL.No.99 "Pikul Salib"
Hendaklah kau iring Yesus pikul salib
jangan takut dan belisah ikut Tabib
Refr: Pikullah salibmu serta, pandang tetap
Hingga dapatlah mahkota, sukar lenyap.

MENERIMA DAN MEMBERI
Sy Sebuah pergulatan antara dua sisi yang bersatu: Allah dan manusia. Sebuah persimpangan di tengah jalan kehidupan: Hidup atau Berkorban.
Namun kasih Allah melampaui akal manusia, sehingga memberi dalam kasih adalah berkorban untuk kita.
Kini maukah kita memberi untuk sesama bagi diri-Nya?
(Memberikan persembahan dengan masing-masing membawanya ke meja persembahan)
Menyanyi,
”KASIH SETIAMU”
Kasih setia-Mu yang kurasakan lebih tinggi dari langit biru
Kebaikan-Mu yang t’lah Kau nyatakan lebih dalam dari lautan
Berkat-Mu yang telah kuterima, sempat membuatku terpesona,
Apa yang tak pernah kupikirkan, itu yang Kau sediakan bagiku
Siapakah aku ini Tuhan, jadi biji mata-Mu,
Dengan apakah ku balas Tuhan, s’lain puji dan sembah Kau

Sy Dalam naungan kasih Allah, adakah di antara kita yang bersedia untuk,
1. Bersedia memberikan diakonia dalam bentuk apapun bagi sesama? (Bisa dalam bentuk beras atau macam-macam sembako lainnya)
2. Berpuasa dari malam ini sampai besok hari ketika mengikuti Perjamuan Kudus? (Puasa dalam berbagai bentuk, misalnya tidak merokok, atau tidak makan dan tidak minum)
3. Janji dan tekad pribadi lainnya.


DOA SYUKUR DAN SYAFAAT
(Dibawakan oleh Penatua atau Syamas)

PIKIRKANLAH SEMUA INI
Pnt Marilah kita berdiri.
Kini Dia telah ditangkap dan disesah bahkan dianiaya. Siapkanlah hati kita untuk dapat mengerti, apa arti penderitaa-Nya.
Menyanyi,
NKB.No. 83 "Nun Di Bukit Yang Jauh"
Nun di bukit yang jauh, tampak kayu salib;
lambang kutuk nestapa, cela.
Salib itu tempat Tuhan Mahakudus
Menebus umat manusia.
Refr: Salib itu kujunjung penuh,
hingga tiba saat ajalku. Salib itu kurangkul teguh
dan mahkota kelak milikku.

(Meditasi selesai dan dilanjutkan dengan perenungan pribadi di rumah masing-masing) Selengkapnya...(Read More)

TATA IBADAH MINGGU SENGSARA

TATA IBADAH
MINGGU SENGSARA I





PERSIAPAN
- Kelompok anak sebanyak 12 orang (atau disesuaikan) disiapkan berdiri di depan pintu masuk ruang ibadah.
- Kertas berwarna berbentuk salib telah dibagikan kepada beberapa orang anak untuk dibagikan pada saat “Janji Anugerah Allah”

Koord. Penyelenggara Ibadah
Bumi menjadi saksi cinta dan kasih Yesus Kristus, langit menceritakan keagungan penderitaan-Nya. Kini biarlah telinga, mata dan hati ini terbuka untuk merasakan dan memahami arti dari jalan sengasara yang dilalui oleh Sang Anak Manusia.
Menyanyi,
KJ.No. 41 “Hai Mari Sembah”
Hai mari sembah yang Maha Besar
Nyanyikan syukur dengan bergemar
Perisai umat-Nya yang Maha Esa
Mulia nama-Nya, takhta-Nya megah

TAHBISAN (Berdiri)
P Pertolongan kepada kita adalah dalam nama Tuhan, yang menjadikan langit dan bumi, yang tetap setia untuk selama-lamanya dan tidak meninggalkan perbuatan tanganNya
J Amin
P+J Menyanyi, (Prosesi Anak-anak Pemikul Salib)
NKB.No. 83:1,2 "Nun Di Bukit Yang Jauh"
Nun di bukit yang jauh,
tampak kayu salib;
lambang kutuk nestapa, cela.
Salib itu tempat Tuhan Mahakudus
Menebus umat manusia.
Refr: Salib itu kujunjung penuh,
hingga tiba saat ajalku.
Salib itu kurangkul teguh
dan mahkota kelak milikku.

Meski salib itu dicela, dicerca,
bagiku tiada taranya.
Anak domba kudus masuk dunia gelap,
Disalib kar’na dosa dunia. (Refr)

PENGAKUAN DOSA & JANJI ANUGERAH ALLAH (Duduk)
Pnt Marilah kita merendahkan diri dihadapan Tuhan Allah kita dan mengaku dosa kita kepadaNya, kita berdoa sebagaimana ungkapan pemazmur dalam Mazmur 51:3-9, mari berdoa .......…………… (Pnt+J, membaca Mzm 51:3-9) .......................
Amin.
Pnt Sebagai pelayan Yesus Kristus, kami memberitakan pengampunan dosa kepada setiap orang yang sambil melihat kepada salib Yesus mengaku dosanya dihadapan Allah, seperti ada tertulis ”tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggung-Nya dan kesengsaraan kita yang dipikul-Nya, padahal kita mengira Dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah, tetapi Dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, Dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepada-Nya, dan oleh bilur-bilurnya, kita menjadi sembuh.” (Yes 53:4-5)
Pnt+J Menyanyi,
KJ.No 174:5 “’Ku Heran, Jurus’lamatku”
Tak dapat air mataku, membalas kasih-Nya
Seluruh jiwa ragaku ya Tuhan t’rimalah
Refr: Pada kayu salib, ’ku melihat terang
Dan beban hidupku hilang lenyap
Mataku celik, karena iman
dan aku bahagia tetap

PENGHAYATAN PENDERITAAN YESUS (Berdiri)
Pnt Marilah kita menghayati penderitaan Yesus Kristus dengan membaca berbalasan Mrk. 8:27-38 (atau Mrk 930-37,Mrk 943-48,Mrk 1028-31,Mrk 1032-45,Mrk 131-13)
Pnt+J Menyanyi, (Pembagian Kertas Warna berbentuk salib)
“Hendakkah Kau Iring Yesus”
Hendakkah kau iring Yesus pikul salib,
Jangan takut dan gelisah ikut tabib
Pikullah salibmu serta pandang tetap
Hingga dapatlah mahkota sukar lenyap

PEMBERITAAN FIRMAN TUHAN (Duduk)
Pnt Doa Pembacaan Alkitab.
Pembacaan Alkitab

Puji-pujian
P Khotbah.
Puji-pujian

PERSEMBAHAN
Sym Yesus Kristus telah lebih dahulu mempersembahkan diri-Nya menjadi tebusan selamat bagi kita sekalian. Karena itu marilah kita mempersembahkan hidup kita bagi kemuliaan nama-Nya.
Nas Persembahan: Ulangan 6 : 1 – 25
Sym+J Menyanyi,
KJ.No 450 ”Hidup Kita yang Benar”
Hidup kita yang benar haruslah mengucap syukur.
Dalam Kristus bergemar; janganlah tekebur.
Refr: Dalam susah pun senang; da;am segala hal
Aku bermazmur dan ucap syukur; itu kehendak-Nya!

Biar badai menyerang, biar ombak menerjang,
Aku akan bersyukur kepada Tuhanku. (Refr)

Apa arti hidupmu bukankah ungkapan syukur
Kar’na Kristus penebus berkorban bagimu! (Refr)

Bertekun bersyukurlah hingga suara-Nya kaudengar
”Sungguh indah anak-Ku, ungkapan syukurmu.” (Refr)

Tuhan Yesus, tolonglah, sempurnakan syukurku.
Roh Kudus berkuasalah di dalam hidupku! (Refr)

PENEGUHAN SIDI DAN BAPTISAN

DOA SYUKUR
P (Bersyukur untuk Pemberitaan Firman Tuhan, Persembahan, Syukur untuk penghayatan masa-masa sengsara Yesus (dalam bentuk puasa diakonal), Permohonan, Syafaat untuk bangsa & negara, mereka yang berkekurangan, dipenjara, yatim piatu, dll dan diakhiri dengan doa Bapa kami)

P+J Menyanyi, (Berdiri)
KJ.No 446:1 “Setialah”
Setialah kepada Tuhanmu, hai kawan yang penat,
Setialah sokongan-Nya tentu di jalan yang berat
’kan datang Raja yang berjaya menolong yang percaya.
Setialah!

BERKAT
P Jemaat Tuhan pergilah dengan sejahtera dan terimalah berkat-Nya,
Kasih karunia dan damai sejahtera dari Tuhan Allah Bapa, di dalam Yesus Kristus dan oleh tuntunan Roh Kudus menyertai dan memberkati kita semua, sekarang ini dan selama-lamanya.
P+J Amin, amin, amin. (dinyanyikan)

SAAT TEDUH






TATA IBADAH
MINGGU SENGSARA II

PERSIAPAN

PANGGILAN BERIBADAH (Berdiri)
Koord. Penyelenggara Ibadah
Saudara-saudara, kita berkumpul lagi di tempat ini dalam suasana kasih dan persaudaraan setelah kita berpisah pandang selama beberapa waktu karena kesibukan kerja masing-masing. Kita berkumpul kembali sebagai satu jemaat untuk membina persekutuan beriman di dalam Kristus.
Bersyukur dan beribadahlah kepada Allah menurut cara yang berkenan kepada-Nya berdasarkan kasih persaudaraan dalam Kristus
Menyanyi,
NKB.No. 38:1,5 ”T’lah Lewat Malam Yang Gelap”
T’lah lewat malam yang gelap, datang hari yang cerah
Dan rasa takut pun lenyap, jiwaku bersukalah!
Refr: Sungguh nyata damai sorga membuatku bergemar
Kasih Mukhalis bagiku jadi harta yang besar.

Meski berliku jalanku dan bahaya kutempuh,
Tetaplah sukacitaku kar’na Yesus panduku.

TAHBISAN
P Persekutuan ini tertahbislah dalam nama Allah Bapa yang telah memulai segala sesuatu dan yang mengaruniakan keselamatan di dalam anak-Nya Yesus Kristus dan yang mempersatukan kita dalam kuasa Roh Kudus.
J Amin.
P Kasih karunia Yesus Kristus besertalah dengan kamu sekalian
J besertalah juga dengan saudara, Amin
P+J Menyanyi,
KJ.No 31 “Kami Puji Dengan Riang”
Kami puji dengan riang Dikau Allah yang besar
Bagai bunga t’rima siang hati kamipun mekar
Kabut dosa dan derita kebimbangan t’lah lenyap
Sumber suka yang abadi, b’ri sinar-Mu menyerap.
PUJI-PUJIAN
P Ya Tuhan, Engkau telah menderita sengsara karena pemberontakan kami
J Engkau telah diremukkan karena kejahatan kami
P Engkau bahkan telah mati supaya kami selamat
J Kami datang dan memuji-Mu dalam persekutuan ini
P Terpujilah Engkau Tuhan penebus kami
J Terpujilah Kristus sekarang dan sampai selamanya
P+J Menyanyi,
NKB No 3:1 “Terpujilah Allah”
Terpujilah Allah, hikmatNya besar
Begitu kasihNya ‘ntuk dunia cemar
Sehingga dibrilah putera-Nya kudus
Mengangkat manusia, serta menebus
Refr: Pujilah, pujilah, buatlah dunia
Bergemar, bergemar, mendengar sabda-Nya
Dapatkanlah Allah demi putera-Nya
‘bri puji pada-Nya sebab hikmat-Nya

PENGAKUAN DOSA DAN BERITA ANUGERAH ALLAH (Duduk)
Pnt Tuhan menunjukkan wajah-Nya kepada kita, dan kita bertanya siapakah aku ini?.....................................................
Biarlah kita jujur terhadap diri kita, terlebih terhadap Tuhan, karena itu marilah kita mengaku dosa kepada-Nya Tuhan Allah yang Maha Kuasa, kami telah dipanggil untuk hidup sebagai satu persekutuan, sebagai kawan sekerja-Mu, tetapi kesadaran kami sempit tentang hal itu. Karena kami kurang memberi diri secara tekun mendengar Firman-Mu dan mengerti maksud-Mu dalam hidup kami setiap hari.
J Kami dikenal bahkan menyebut diri sebagai anak-anak-Mu, tetapi banyak kali kami tidak menjadi contoh sebagai murid-Mu yang baik dalam pengembangan hidup persekutuan. Kau mengajarkan kami untuk membina kasih tetapi kami kurang memberi diri kami untuk dibina. Kami berdosa kepada-Mu ya Bapa.
Pnt Ya Bapa, dosa kami telah menjadi tembok pemisah antara kami dengan Engkau dan antara kami dengan sesama
Pnt+J Ya Bapa dengarkanlah kami yang berseru kepada-Mu dan ampunilah kami sehingga kami dibaharui oleh Roh-Mu agar kami dapat bertindak sebagai abdimu yang benar dan membawa damai dalam kehidupan bersama, Amin.
Pnt Kepada setiap orang yang dengan penuh ketulusan hati mengakui dosanya dihadapan Allah, maka berlakulah anugerah pengampunan itu bagi-Nya.
Pnt+J Menyanyi,
“Bapa Engkau Sungguh Baik”
Bapa Engkau sungguh baik,
Kasih-Mu melimpah di hidupku
Bapa ku bert’rima kasih,
Berkat-Mu hari ini yang Kau sediakan bagiku
Ku naikkan syukurku buat hari yang Kau ‘bri
Tak habis-habisnya kasih dan rahmat-Mu
S’lalu baru dan tak pernah terlambat
Pertolongan-Mu besar setia-Mu di s’panjang hidupku.

PENGHAYATAN PENDERITAAN YESUS (Berdiri)
Pnt Marilah kita menghayati penderitaan Yesus Kristus dengan membaca berbalasan Markus. 9:30–37.
Pnt+J Menyanyi,
KJ.No. 401:1,2 "Makin Dekat Tuhan"
Makin dekat Tuhan kepadamu;
Walaupun saliblah mengangkatku,
inilah laguku: Dekat kepada-Mu;
makin dekat, Tuhan, kepada-Mu

Berbantal batu pun 'ku mau rebah,
bagai musafir yang lunglai, lelah,
asalah di mimpiku dekat kepada-Mu;
makin dekat Tuhan, kepada-Mu

PEMBERITAAN FIRMAN TUHAN (Duduk)
Pnt Doa Pembacaan Alkitab.
Pembacaan Alkitab
Puji-pujian
P Khotbah.
Puji-pujian

PERSEMBAHAN SYUKUR
Sym Membaca Nas Persembahan : Lukas 12 : 48b
NKB.No 133:1-3 “Syukur pada-Mu Ya Allah”
Syukur pada-Mu ya Allah, atas sgala rahmat-Mu
Syukur atas kecukupan dari kasih-Mu penuh
Syukur atas pekerjaan walau tubuhpun lamban
Syukur atas kasih sayang dari sanak dan teman

Syukur atas bunga mawar, harum indah tak terp’ri
Syukur atas awan hitam dan mentari berseri.
Syukur atas suka duka yang Kau b’ri tiap saat
Dan firman-Mulah pelita agar kami tak sesat

Syukur atas keluarga penuh kasih dan mesra
Syukur atas perhimpunan yang memb’ri sejahtera
Syukur atas kekuatan kala duka dan kesah
Syukur atas pengharapan kini dan selamanya!

Sym Marilah kita berdoa, ..............................................................
Sym+J Menyanyi,
”Roh Kudus Tetap Teguh”
Roh Kudus tetap teguh Kau Pemimpin umat-Mu.
Tuntun kami yang lemah lewat gurun dunia.
Jiwa yang letih lesu mendengar panggilan-Mu,
”Hai musafir, ikutlah ke neg’ri sejahtera!”

DOA SYUKUR
P Marilah kita berdoa, ..............................................................

PENGUTUSAN DAN BERKAT (Berdiri)
P Umat Tuhan, kembalilah ke kehidupanmu sehari-hari dan jadilah saksi dan teladan di tengah masyarakat melalui kehidupan persekutuan dalam keluarga maupun Jemaat.
P Arahkanlah hati dan pikiranmu kepada Tuhan dan terimalah berkat-Nya,
“Tuhanlah penjagamu, Tuhanlah naunganmu, di sebelah tangan kananmu. Matahari tidak menyakiti engkau pada waktu siang atau bulan pada waktu malam. Tuhan akan menjaga engkau terhadap segala kecelakaan; Tuhan akan menjaga nyawamu. Tuhan akan menjaga keluar masukmu dari sekarang sampai selama-lamanya”.
J Amin, amin, amin. (Dinyanyikan)

TATA IBADAH
MINGGU SENGSARA III


PANGGILAN BERIBADAH (berdiri)
Koord. Penyelenggara Ibadah
Di saat ini marilah kita menghadap Allah dengan hati yang tulus ikhlas dan keyakinan iman yang teguh bahwa Allah di dalam Yesus sang Penebus kita adalah dasar persekutuan kita.
Menyanyi,
KJ.No 355 “Yesus Memanggil”
Yesus memanggil, mari segra; Ikutlah jalan slamat baka
Jangan sesat, dengar sabdaNya Hai marilah segra
Sungguh nanti kita ‘kan senang bebas dosa hatipun tentram
Bersama Yesus dalam terang di rumah yang kekal

DOA PENYEMBAHAN
Pnt Allah yang kekal dan Bapa kami, Engkaulah sumber kehidupan dan keselamatan kami, hari-hari-Mu tanpa akhir dan kasih karunia-Mu tak terbilang.
J Engkaulah Allah kami dan kami adalah umat-Mu
Pria Allah Abraham, Ishak dan Yakub
Wanita Allah Sarah, Ribkah dan RaPel
J Allah dan Bapa Yesus Kristus Tuhan penebus kami
Allah dari satu umat, gereja-Mu
Pnt Engkaulah yang awal dan yang akhir
Pria Allah atas kehidupan yang berjalan di depan kami
Wanita Allah yang memimpin, mengarahkan dan membimbing kami
J Engkaulah yang Maha Arif dan Penyayang, Maha Mulia, Maha Besar dan sekaligus Bapa kami sekalian
Pnt Kepada-Mu kami angkat hati dan madah kami;
Kepada-Mu segala sembah dan pujian
Karena Engkau yang layak menerima pujian dan kemuliaan; Karena Engkaulah Allah yang Esa sepanjang zaman, Amin.
Pnt+J Menyanyi,
KJ.No 461 “Besarkan Nama Tuhan”
Besarkan Nama Tuhan Haleluya;
Kasih-Nya tak berkurang Haleluya
sekalipun keluhan menimpa umat-Nya
berkat-Nya ditemukan Haleluya

PENGAKUAN DOSA dan BERITA ANUGERAH ALLAH (Duduk)
Pnt+J Menyanyi,
“O Mawu Malondo”
O mawu malondo Ruata I amang
Elangu meghogho maki ambang
Tulung ampunge Mawu Haghieng dalawangku
Dan durhakaku su tenggo Nu

Pnt Ya pengharapan Israel, Tuhan………………………………….......
Pria Semua orang yang meninggalkan Engkau akan menjadi malu; orang-orang yang menyimpang dari pada-Mu akan dilenyapkan di negeri, sebab mereka telah meninggalkan sumber air yang hidup yakni Tuhan.
Wanita Sembuhkanlah aku ya Tuhan, maka aku akan sembuh; Selamatkanlah aku maka aku akan selamat;
Sebab Engkaulah kepujianku!
Pnt+J Menyanyi,
KJ.No 173 “Karna Kasih-Nya Padaku”
Karna kasih-Nya padaku, Yesus datang ke dunia
Ia t’lah memb’ri hidup-Nya, ganti ‘ku yang bercela
O betapa mulia dan ajaib kuasa-Nya
Kasih Juruselamat dunia menebus manusia

Pnt “Dengarkanlah Aku, hai kaum keturunan Yakub, hai semua orang yang tinggal dari kaum keturunan Israel, hai orang-orang yang Ku dukung sejak dari kandungan, hai orang-orang yang Ku junjung sejak dari rahim. Sampai masa tuamu Aku tetap Dia dan sampai masa putih rambutmu Aku menggendong kamu.
Aku telah melakukannya dan mau menanggung kamu terus; Aku mau memikul kamu dan menyelamatkan kamu.”
Pnt+J Menyanyi,
NKB.No. 14:1,4 ”jadilah, Tuhan, Kehendak-Mu!
Jadilah Tuhan, kehendak-Mu!
Kaulah penjunan ’ku tanahnya.
Bentuklah aku sesuka-Mu,
’kan kunantikan dan berserah.

Jadilah, Tuhan, kehendak-Mu!
S’luruh hidupku kuasailah.
Berilah Roh-Mu kepadaku,
Agar t’rang Kristus pun nyatalah.

PENGHAYATAN PENDERITAAN YESUS (Berdiri)
Pnt Marilah kita menghayati penderitaan Yesus Kristus dengan membaca Markus 9:43-48
Pnt+J Menyanyi,
DSL.No. 136:1 ”Ni’mat Maha Tuhanku”
Ni’mat maha Tuhanku
aku puji berseru,
Kar’na rindu hatiku, ni’mat besar!
Dari surga yang baka
masuk dunia yang fana,
Tanggung dosa atasnya: Ni’mat besar!
Koor: Ni’mat besar! Ni’mat besar.
Tidak terduga dan luas benar,
Ni’mat besar.

PELAYANAN FIRMAN
Pnt Aku akan menaruh taurat dalam batin mereka dan menuliskannya dalam hati mereka; maka Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umatKu
Pnt+J Menyanyi,
KJ.No 1841 “Yesus Sayang Padaku”
Yesus sayang padaku, Alkitab mengajarku
Walau ku kecil lemah, aku ini milikNya
Yesus Tuhanku,sayang padaku
Itu FirmanNya di dalam Alkitab

Pnt Doa dan Pembacaan Alkitab
Puji-pujian
P Khotbah
Puji-pujian

PERSEMBAHAN SYUKUR
Sym Nas Persembahan: Lukas 20 : 25, ..........................................
Sementara kita mempersembahkan syukur demi pengembangan pelayanan Gereja Tuhan, marilah kita menyanyi,
KJ.No 183 “Menjulang Nyata Atas Bukit Kala”
Menjulang nyata atas bukit kala
Trang benderang salibMu Tuhanku
Dari sinarNya yang menyala-nyala
Memancar kasih agung dan restu
Seluruh umat insan menengadah
Ke arah cahya kasih yang mesra
Bagai pelaut yang karam merindukan
Di ufuk timur pagi merekah

Sym Marilah kita berdoa untuk menguduskan persembahan yang telah diberikan, .......................................................................................
(Bila ada Sampul Syukur dan berbagai permintaan doa lainnya, kiranya dapat dibawakan di dalam doa ini)

DOA SYUKUR
P Terpujilah Engkau ya Tuhan yang telah menyelamatkan kami manusia dengan pengorbanan anak-Mu Yesus Kristus Tuhan kami.
J Kami bersyukur dan memuji nama-Mu.
P Untuk kesempatan berkarya, belajar bahkan bertumbuh dalam iman percaya kepada-Mu serta hidup yang diberkati Tuhan.
J Di atas semuanya itu kami bersyukur karena pengampunan dan janji-janji-Mu yang menghibur dan menguatkan kami untuk tetap berjuang melakukan yang terbaik demi masa depan kami.
P Ya Tuhan ke dalam tangan-Mu kami menyerahkan kehidupan persekutuan jemaat di hari-hari ke depan, dan ketika kami boleh menghayati sengsara-Mu bagi umat-Mu, kami memohon:
P Jadikanlah kami alat perdamaian-Mu, biarlah kami mengasihi dimana ada kebencian, memaafkan dimana ada dendam; mempersatukan dimana ada perpecahan; menimbulkan pengharapan dimana ada keputusasaan; memberi iman dimana ada kebimbangan; membawa terang dimana ada kegelapan; memberi kegembiraan dimana ada kesedihan; biarlah kami jangan mencari untuk dihibur, melainkan menghibur; dan bukan untuk dipahami melainkan memahami; bukan untuk dicintai melainkan mencintai;
J Sebab di dalam memberi kami menerima; di dalam mengampuni kami diampuni; di dalam kematian kami dilahirkan dalam hidup yang sejati; di dalam PuteraMu yang diberkati Yesus Kristus, Tuhan kami,
P+J Amin.

PENUTUP DAN BERKAT (Berdiri)
P Yakinkan diri-Mu bahwa Yesus selalu menyertaimu dan berharaplah kepada Dia dalam segala sesuatu.
KJ.No 3751 “Saya Mau Ikut Yesus”
Saya mau ikut Yesus, saya mau ikut Yesus
Sampai s’lama-lamanya. Meskipun saya susah
Menderita dalam dunia, saya mau ikut Yesus sampai slama-lamanya

P Arahkanlah hati dan pikiranmu kepada Tuhan dan terimalah berkat-Nya,
Kasih karunia Yesus Kristus, TUHAN kita, menyertai saudara sekalian.
J Amin, amin, amin, amin,amin (dinyanyikan)
TATA IBADAH
MINGGU SENGSARA IV

PERSIAPAN

PANGGILAN DALAM NAMA TUHAN (Berdiri)
Koord. Penyelenggara Ibadah
Saudara-saudara marilah kita sujud menyembah Tuhan Allah yang telah mengutus Yesus Kristus bagi kita
Pelsus Sebab Dialah JuruSelamat kita
Koord. Penyelenggara Ibadah
Marilah umat-Nya hatimu serahkan dalam kerendahan
Menyanyi,
KJ.No 33 “Suara-Mu Kudengar”
Suara-Mu ku-dengar memanggil diriku
Supaya ‘ku di Golgota dibasuh darah-Mu
Aku datanglah Tuhan pada-Mu;
Dalam darah-Mu Kudus, sucikan diriku

TAHBISAN
P Marilah kita tahbiskan ibadah jemaat di saat ini, (dalam lagu KJ. 18:1 “Allah Hadir Bagi Kita”)
Pro Kantor
Allah hadir bagi kita dan hendak memb’ri berkat
Melimpahkan Kuasa RohNya,bagai hujan yang lebat
Dengan Roh Kudus ya Tuhan,umatMu berkatilah!
Baharui hati kami ; oh curahkan kurnia.
P Amin.

RENUNGAN TENTANG HAMBA YANG MENDERITA
Pnt Siapakah yang percaya pada berita yang kami dengar
Dan kepada siapakah tangan kekuasaan Tuhan dinyatakan?
Pelsus Sebagai taruk ia tumbuh dihadapan Tuhan
J Dan sebagai tunas dari tanah kering
Pelsus Ia tidak tampan dan semaraknya pun tidak ada sehingga kita memandang dia,
J Dan rupapun tidak, sehingga kita menginginkannya
Pelsus Ia dihina dan dihindari orang,
J Seorang yang penuh kesengsaraan dan yang bisa menderita kesakitan
Pelsus Ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap Dia
J Dan bagi kitapun Dia tidak masuk hitungan
Pelsus Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggung-Nya
J Dan kesengsaraan kitalah yang dipikul-Nya
Pelsus Padahal kita mengira Dia kena tulah,
J Dipukul dan ditindas Allah
Pelsus Tetapi Ia ditikam oleh karena pemberontakan kita;
J Dia diremukkan oleh karena kejahatan kita;
Pelsus Ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepada-Nya,
Pnt+J Dan oleh bilur-bilur-Nya kita menjadi sembuh
Menyanyi,
NKB No 34:1”Setia-Mu Tuhanku Tiada Bertara”
Setia-Mu Tuhanku tiada bertara
Di kala suka di saat gelap
Kasih-Mu Allahku tidak berubah
Kaulah pelindung abadi tetap
Setia-Mu Tuhanku, mengharu hatiku
Setiap pagi bertambah jelas
Yang ku perlukan tetap Kau berikan
Sehingga akupun puas lelas

PENGAKUAN DOSA (Duduk)
Pnt Marilah kita merendahkan diri di hadapan Tuhan Allah, dan mengaku dosa kita kepada-Nya, kita berdoa:
Tuhan yang penuh pengasihan, ampuni kami anak-anak-Mu atas kekurang-yakinan kami akan kehadiran-Mu, kekurang-harapan kami dalam kerajaan-Mu, kekurangsabaran kami menunggu pertolongan-Mu, kekurang percayaan kami dalam pengasihan-Mu
J Yesus, Tuhan, dengar doaku; orang lain Kau hampiri, jangan jalan t’rus (Dinyanyikan sesuai Refrein KJ.No. 26 “Mampirlah Dengar Doaku”)
Pnt Tuhan kami sering berdoa, ”jauhkanlah kami dari yang jahat”, namun betapa sering kami tergoda oleh rayuan iblis untuk melakukan hal yang tidak berkenan kepada-Mu. Kami sering berdoa, kiranya Roh Kudus membaharui sikap dan tindakan kami, namun betapa sering kami tidak bersedia ketika Roh Kudus mau merobah sikap dan tindakan kami.
J Yesus, Tuhan, dengar doaku; orang lain Kau hampiri, jangan jalan t’rus (Dinyanyikan sesuai Refrein KJ.No. 26 “Mampirlah Dengar Doaku”)
Pnt Tuhan yang damai perbaharuilah kami ke dalam perjanjianMu dengan umatMu, bawalah kami kepada pertobatan yang benar, ajarlah kami untuk menerima pengorbanan Kristus, hancurkan kami kala kami angkuh, bentuklah kami jika kami lemah hingga kami dapat hidup menurut kehendak-Mu, Amin.
Pnt+J Menyanyi,
KJ.No. 26:1 “Mampirlah, Dengar Doaku”
Mampirlah dengar doaku, Yesus Penebus.
Orang lain Kau hampiri, jangan jalan t’rus
Refr: Yesus, Tuhan, dengar doaku;
orang lain Kau hampiri, jangan jalan t’rus

BERITA PENGAMPUNAN
Pnt Inilah kabar sukacita!
Perkataan ini benar dan penuh penerimaan, bahwa Yesus Kristus telah datang ke dalam dunia untuk menyelamatkan orang berdosa.
Pnt+J Menyanyi,
NKB.No. 143 “Janji Yang Manis”
Janji yang manis Kau tak kulupakan tak terombang ambing lagi jiwaku
Walau lembah hidupku penuh awan nantikan cerahlah langit diatasku
Ref: Kau tidakkan Aku lupakan Aku memimpinmu Aku membimbingmu
Kau tidakkan Aku lupakan Aku penolongmu yakinlah teguh

PENGHAYATAN PENDERITAAN YESUS (Berdiri)
Pnt Marilah kita menghayati penderitaan Yesus Kristus dengan membaca Markus 10:28-31 (atau Matius 19:27-30; Lukas 18:28-30)
Pnt+J Menyanyi,
NKB.No. 143:2 ”Janji Yang Manis”
Yakinkan janji Kau tak Kulupakan dengan sukacita aku jalan t’rus
Dunia dan kawan tiada kuharapkan satu yang setia Yesus Penebus
Ref: Kau tidakkan Aku lupakan Aku memimpinmu Aku membimbingmu
Kau tidakkan Aku lupakan Aku penolongmu yakinlah teguh

PEMBERITAAN FIRMAN (Duduk)
Pnt Marilah kita berdoa untuk pemberitaan Firman Tuhan (Dibawakan dalam lagu, PKJ No 151 “Kusiapkan Hatiku Tuhan”)
Pro Kantor
Kusiapkan hatiku Tuhan, menyambut Firman-Mu saat ini
Aku sujud menyembah Engkau dalam hadirat-Mu saat ini
Curahkanlah pengurapan-Mu kepada umat-Mu, saat ini
Ku siapkan hatiku Tuhan, mendengar Firman-Mu
Firman-Mu Tuhan, tiada berubah, sejak semulanya
Dan s’lama-lamanya tiada berubah
Firman-Mu Tuhan, tiada berubah,
Ku siapkan hatiku Tuhan, menyambut FirmanM-u.
Pnt Pembacaan Alkitab: .........................................................................
Puji-pujian
P Khotbah
Puji-pujian
PERSEMBAHAN
Sym Allah telah mempersembahkan anak-Nya yang tunggal untuk kita manusia. Sebagaimana Tuhan telah memberi, marilah kita memberi persembahan dalam ibadah ini
Sym Nas Persembahan: Lukas 21 : 1 – 4
P+J Menyanyi,
KJ.No 169 “Memandang Salib RajaKu”
Memandang salib Rajaku yang mati untuk dunia,
Kurasa hancur congkakku dan harta hilang harganya.

Tak boleh aku bermegah selain di dalam salib-Mu
Kubuang nikmat dunia demi darah-Mu yang kudus

Berpadu kasih dan sedih mengalir dari luka-Mu;
Mahkota duri yang pedih menjadi keagungan-Mu

DOA SYUKUR
P Marilah berdoa, ...............................................................................
Nyanyian Penutup (Menyanyi berbalasan)
KJ.No 436;1-3 “Lawanlah Godaan “
WKI & P/KB
Lawanlah godaan, slalu bertekun;
tiap kemenangan kau tambah teguh;
nafsu kejahatan harus kau tentang,
harap akan Yesus pasti kau menang.
P+J Mintalah pada Tuhan, agar kau dikuatkan;
Ia bri pertolongan pastilah kau menang
Pemuda-Remaja-Anak
Allah memberikan tajuk mulia,
bagi yang berjaya di dalam iman;
Kristus memulihkan kau yang tertekan,
harap akan Yesus pasti kau menang.
P+J Refr:

PENGUTUSAN DAN BERKAT
P Pergilah dengan sejahtera umat Tuhan
J Pergilah dengan damai menurut kasih Tuhan
P Pergilah dan berbuatlah umat Tuhan
J Wartakanlah keselamatan menurut Firman Tuhan
P Jemaat Tuhan marilah kita memohon berkat
P+J Menyanyi,
KJ.No 348 “Anugerah Tuhan Kita, Yesus Kristus”
Anugrah Tuhan kita Yesus Kristus, Pengasihan Allah,
Persekutuan dalam Roh Kudus kiranya menyertai kita, Amin.

TATA IBADAH
MINGGU SENGSARA V

PERSIAPAN

TUHAN MEMANGGILMU (Jemaat Berdiri)
Koord. Penyelenggara Ibadah,
Dengarlah, hai langit, dan perhatikanlah, hai bumi sebab TUHAN Semesta Alam berfirman, ”Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan bersorak-sorai. Orang-orang yang berjalan maju dengan menangis sambil menabur benih, pasti pulang dengan sorak-sorai sambil membawa berkas-berkasnya.
Menyanyi,
NKB.No. 125 ”Kudengar Panggilan Tuhan”
Ku dengar panggilan Tuhan, ku dengar panggilan Tuhan,
Ku dengar panggilan Tuhan ”Pikul salib, ikutlah Aku!”
Refr
Aku mau mengikut Dia, aku mau mengikut Dia,
Aku mau mengikut Dia, ikut Dia, Yesus, Tuhanku.

Meski jalanku mendaki, meski jalanku mendaki,
Meski jalanku mendaki, ’kan kuikut Dia s’lamanya. (Refr)

Dilimpahkan-Nya anug’rah, dilimpahkan-Nya anug’rah,
Dilimpahkan-Nya anug’rah, dan kuikut Dia s’lamanya. (Refr)

TAHBISAN
P Pertolongan kepada kita adalah dalam nama Tuhan, yang menjadikan langit dan bumi, yang tetap setia untuk selama-lamanya dan tidak meninggalkan perbuatan tangan-Nya.
J Amin

SALAM
P TUHAN menyertai saudara-saudara.
J Dan menyertai saudara juga.
Menyanyi,
KJ.No 169 “Memandang Salib RajaKu”
Memandang salib Rajaku yang mati untuk dunia,
Kurasa hancur congkakku dan harta hilang harganya.
Tak boleh aku bermegah selain di dalam salib-Mu
Kubuang nikmat dunia demi darah-Mu yang kudus

BIMBINGAN-NYA MENGOKOHKAN HATI
Pnt ”Dengan kepak-Nya Ia akan menudungi engkau, di bawah sayap-Nya engkau akan berlindung, kesetiaan-Nya ialah perisai dan pagar tembok. Engkau tak usah takut terhadap kedahsyatan malam, terhadap panah yang terbang di waktu siang.” Mzm. 914,5
Menyanyi,
NKB.No. 173 ”’Ku Tak Dapat Maju Sendiri”
Pro Kantor
Melewati lembah air mata, jalanku gelap dan ngeri;
Tuhan, pimpinan-Mu kudambakan
’ku tak dapat maju sendiri.
J Refr
’Ku tiada tahu jalannya Tuhan, Engkaulah yang mengerti;
Terang-Mu halau ketakutan, ’ku tak dapat maju sendiri.

PENGAKUAN DOSA DAN PEMBERITAAN ANUGERAH ALLAH (Duduk)
Pnt Marilah kita merendahkan diri di hadapan TUHAN, Allah kita, dan mengaku dosa kita kepada-Nya. Kita berdoa, ..........
Menyanyi,
KJ.No.441:1 ”Kuingin Menyerahkan”
’Ku ingin menyerahkan seluruh hidupku,
sekalipun tak layak, kepada Tuhanku.
Ku bunuh keinginan dan hasrat hatiku,
Supaya hanya Tuhan mengisi hidupku.

Pnt Sebagai pelayan Yesus Kristus kami memberitakan pengampunan dosa kepada tiap-tiap orang yang sambil melihat kepada salib Kristus mengaku dosanya di hadapan Allah.
Menyanyi,
NKB.No. 206:2 dan 3 ”Mercu Suar Kasih Bapa”
Perempuan,
Malam dosa sudah turun, ombak dahsyat menyerang.
Laki-laki,
Banyaklah pelaut mengharap sinar suluh yang terang.
J Refr: Pelihara suluh pantai walau hanya k’lip kelap
Agar tiada orang hilang di lautan yang gelap.
Perempuan,
Peliharalah suluhmu, agar orang yang cemas,
Laki-laki,
Yang mencari pelabuhan, dari mara terlepas.
J Refr:

AJAKAN UNTUK MENGIKUTI YESUS KRISTUS DI JALAN SENGSARA (Berdiri)
Seorang Syamas,
Membaca: Markus 10:32-45
Menyanyi,
KJ.No.3762 ”Ikut Dikau Saja, Tuhan”
Pro Kantor
Ikut Dikau di sengsara, kar’na janji-Mu teguh
Atas kuasa kegelapan ’ku menang bersama-Mu.
J Refr Aku ingin ikut Dikau dan mengabdi pada-Mu
Dalam Dikau, Jurus’lamat, ’ku bahagia penuh!

DOA PEMBACAAN ALKITAB DAN KHOTBAH (Duduk)
Pnt TUHAN menyertai saudara-saudara.
J Dan menyertai saudaara juga
Pnt Marilah kita berdoa,
Pnt Marilah kita membaca Alkitab,

Puji-pujian
P Khotbah
Pujian

PERSEMBAHAN
Sym Marilah kita membawa persembahan kita, ke meja persembahan.
Sym Nas Persembahan: Matius 25 : 37b – 40
Menyanyi,
NKB No 133 “Syukur PadaMu Ya Allah”
Syukur pada-Mu ya Allah, atas s’gala rahmat-Mu
Syukur atas kecukupan dari kasih-Mu penuh
Syukur atas pekerjaan walau tubuhpun lemban
Syukur atas kasih sayang dari sanak dan teman
Syukur atas bunga mawar, harum indah tak terp’ri
Syukur atas awan hitam dan mentari berseri.
Syukur atas suka duka yang Kau b’ri tiap saat
Dan firman-Mulah pelita agar kami tak sesat.

Syukur atas keluarga penuh kasih dan mesra
Syukur atas perhimpunan yang memb’ri sejahtera
Syukur atas kekuatan kala duka dan kesah
Syukur atas pengharapan kini dan selamanya!

Sym Doa Persembahan

DOA SYUKUR
P Marilah kita berdoa, ..............................................................

ALLAH MENYERTAI KITA (Jemaat Berdiri)
P Menatap dunia ini bagaikan menyaksikan pertunjukan dari sebuah sandiwara beralur duka.
Pelsus Dimana-mana ada ratap tangis, jeritan duka dan desahan kesedihan.
J Akankah semua berlalu, seperti kami membuka mata di waktu pagi.
P Dia yang pernah datang dan akan datang, tak pernah menjanjikan hidup ini akan tenang, tetapi Dia pernah berfirman ”Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.”
Menyanyi,
NKB.No. 171 ”Walau Kudaki Gunung Yang Tinggi”
Walau kudaki gunung yang tinggi
dan kuturuni lembah terjal;
Yesus berkata ”Kau Kutemani”,
sabda ilahi, janji kekal.
Refr: Cahya sorgawi, cahya sorgawi
jiwa penuh kemuliaan-Nya.
Haleluya, aku bersuka
memuji Yesus, ’kumilik-Nya.

P Kasih karunia Yesus Kristus, TUHAN kita, menyertai saudara sekalian.
J Amin, amin, amin. (Dinyanyikan)


TATA IBADAH
MINGGU SENGSARA VI





PERSIAPAN

TUHAN MEMANGGILMU (Jemaat Berdiri)
Koord. Penyelenggara Ibadah,
Lihatlah hidupmu! Hidupmu bagaikan bunga di padang demikianlah ia berbunga; apabila angin melintasinya, maka tidak ada lagi ia, dan tempatnya tidak mengenalnya lagi. Tetapi kasih setia Tuhan dari selama-lamanya sampai selama-lamanya atas orang-orang yang takut akan Dia.
Menyanyi, DSL.No.991,2 dan 3 ”Pikul Salib”
Hendaklah kau iring Yesus pikul salib
Jangan takut dan belisah ikut Tabib
Refr Pikullah salibmu serta, pandang tetap
Hingga dapatlah mahkota, sukar lenyap

TAHBISAN
P Pertolongan kepada kita adalah dalam nama Tuhan, yang menjadikan langit dan bumi, yang tetap setia untuk selama-lamanya dan tidak meninggalkan perbuatan tangan-Nya.
J Amin

SALAM
P TUHAN menyertai saudara-saudara.
J Dan menyertai saudara juga.
Menyanyi,
”Kasih Dari Surga”
Kasih dari surga memenuhi tempat ini
Kasih dari Bapa surgawi
Kasih dari Yesus mengalir dihatiku
Membuat damai di hidupku
Mengalir kasih dari tempat tinggi
Mengalir kasih dari tahkta Allah Bapa
Mengalir, mengalir, mengalir dan mengalir
Mengalir memenuhi hidupku

BIMBINGAN-NYA MENGOKOHKAN HATI
Pnt ”Tetapi Engkau Tuhan, janganlah jauh; ya kekuatanku, segeralah menolong aku!” (Maz. 22:20)
Menyanyi,
KJ.No.178 ”Kar’na Kasih-Nya Padaku’
Kar’na kasih-Nya padaku Yesus datang ke dunia;
Ia t’lah membr’ri hidup-Nya ganti ku yang bercela.
Refr: O, betapa mulia dan ajaib kuasa-Nya!
Kasih Jurus’lamat dunia menebus manusia

DOSAKU KUBERITAHUKAN DAN DI JALAN SENGSARA-NYA KUBERJALAN (Duduk)
Menyanyi,
”Selidiklah Akan Daku”
Selidiklah akan daku ya Allah
ketahuilah akan hatiku
Ujilah akan daku dan ketahuilah
akan segala kepikiranku.
Pnt Mari kita berdoa, ...................................................................
(Berdiri)
Pnt Membaca, Markus 13:1 – 13.
Menyanyi,
NKB.No.83 ”Nun Di Bukit Yang Jauh”
Nun di bukit yang jauh, tampak kayu salib;
Lambang kutuk nestapa, cela.
Salib itu tempat Tuhan Mahakudus menebus umat manusia.
Refr Salib itu kujunjung penuh,
Hingga tiba saat ajalku. Salib itu kurangkul teguh
Dan mahkota kelak milikku.


DOA PEMBACAAN ALKITAB DAN KHOTBAH (Duduk)
Pnt TUHAN menyertai saudara-saudara.
J Dan menyertai saudaara juga
Pnt Marilah kita berdoa, ..............................................................
Pnt Marilah kita membaca Alkitab,

Puji-pujian
P Khotbah
Puji-pujian

PERSEMBAHAN
Sym Nas Persembahan: Matius 26:6 – 12.
Marilah kita membawa persembahan kita, ke meja persembahan.
Menyanyi,
KJ.No. 281 “Segala Benua dan Langit Penuh”
Segala benua dan langit penuh
dengan bunyi Nama yang sangat merdu,
Penghiburan orang berhati penat,
pengharapan orang yang sudah sesat.
Nama itu suci kudus. Siapa belum mengenal Penebus?

Sesungguhnya Yesus yang layak benar
Dib’ri Nama itu, kudus dan besar,
Yang oleh sengsara kematian-Nya
Memb’ri keampunan dan damai baka
Nama itu suci kudus.
Siapa belum mengenal Penebus.

Sekalian bangsa sekali hendak
Berlutut di hadapan Yesus kelak,
Dan kita kiranya menyanyi serta
Malaikat di sorga pujian sembah
”Yesus, Yesus, Tuhan Kudus,
Dipuji kekal nama-Mu, Penebus!”

Sym Marilah kita berdoa untuk persembahan yang telah diberikan.

DOA SYAFAAT
P Mari berdoa, ..........................................................................

ALLAH MENYERTAI KITA (Berdiri)
P Menjalani hidup sebagai orang percaya kepada Dia yang Menyelamatkan berarti:
J Menyangkal diri, memikul salib dan mengikut Kristus.
Menyanyi,
NKB.No.73 ”Kasih Tuhanku Lembut”
Kasih Tuhanku lembut! Pada-Nya ’ku bertelut
Dan kudambakan penuh kasih besar!
Yesus datang di dunia, tanggung dosa manusia;
Bagiku pun nyatalah Kasih besar!
Refr: Kasih besar! Kasih besar!
Tidak terhingga dan ajaib benar Kasih besar!

P Kasih karunia Yesus Kristus, TUHAN kita, menyertai saudara sekalian.
J Amin, amin, amin. (Dinyanyikan)


PELENGKAP TATA IBADAH MINGGU SENGSARA I

”Anak-anak itu, anak-anak kita”


PROSESI SALIB

Fragmen

(2 orang ibu berjalan dan bercakap-cakap)

Ibu 1 Ah, saat ini saya betul-betul sibuk. Tidak tahu lagi mana yang harus didahulukan.
Ibu 2 Ya memang, saya juga demikian apalagi anak-anak di rumah tidak mau mengerti dengan apa yang kita lakukan.

(1 orang bapak masuk sambil tertawa kecil dan menyeringai)

Bapak 1 Pulang rumah selalu membosankan. Anak-anak selalu mengganggu ini dan itu, apalagi isteriku, ah!!! Selalu tak pernah diam di rumah.
Peduli amat dengan mereka!

(4 orang anak-anak masuk dan melompat-lompat karena sangat gembira. Mereka berpegangan dan berputar sambil melagukan ”Putih-putih Melati” kemudian berhenti dan menghadap jemaaat)

Anak 1 Aku sangat sayang pada ibuku
Anak 2 Kalau akuuuu, aku sangat sayang pada ayahku.
Anak 3 Aku juga. Karena mereka sangat sayang padaku.
Anak 4 Aku, akuuuuuuuuuuuu,

(Tiba-tiba terhenti oleh karena teriakan seorang ibu)

Ibu Putriiiiiiiiiiiiiiiiiiiii, sini!!!
Taunya bermain saja! (Plak)

(Sang ibu menampar dan memarahi anaknya. Setelah itu Anak 4 menangis seorang diri sambil berkata kepada dirinya sendiri)

Anak 4 Tuhan, apa salahku?

(Anak 4 kemudian menangis seorang diri sambil diiringi instrumen lagu ”Oh Ibuku” dan sementara itu anak 1, 2 dan 3 masuk kembali)

Anak 1 Sahabatku jangan kamu sedih.
Anak 2 Jangan kamu menangis
Anak 3 Mari kita bertanya pada Yesus
Anak 4 Tuhan Yesus,
Guruku bilang, orang tua adalah pemberian-Mu
Tetapi, mengapa mereka begitu jahat?
Mengapa mereka menyakitiku?
Mengapa mereka selalu meninggalkanku?

(Setelah berdoa, anak-anak meninggalkan panggung dan masuk Ibu 2 dan Bapak 1)

Bapak 1 Ya Tuhan, apa yang sementara kami lakukan ini.
Ibu 2 Adakah Engkau mau menunjukkan jalan bagi kami?

(Keduanya jatuh dan berlutut menghadap jemaat. Kemudian masuk seorang anak membawakan lagu ”Bertobatlah”)


”Bertobatlah”
Bertobatlah dan balik pada Bapa
Dia tunggu Kau dengan kesetiaan-Nya
Tuhan sudah mengampuni dosa mu
Oh baliklah pada Allah

Mari balik pada tangan kasih-Nya
Di sanalah kau rasakan hangat-Nya
Tuhan tunggu dalam kehidupan-Nya
Oh baliklah pada Allah

Refr:
Oh baliklah pada Allah
Jangan lambat hai sobatku
Tuhan tuntut kepada-Mu
Oh baliklah pada Allah

(Setelah menyanyikan lagu tersebut kemudian anak-anak lainnya yang telah disiapkan membagi-bagikan ”Salib kecil dari kertas”. Sementara itu terdengar lagu ”Bapa yang Kekal”.)

“Bapa Yang Kekal”
Kasih yang sempurna telah kut’rima dari-Mu
Bukan karna kebaikanku Hanya oleh kasih karunia-Mu
Kau pulihkan aku layakkanku ’tuk dapat memanggil-Mu Bapa

Kau b’ri yang kupinta saat ku mencari ku mendapatkan
ku ketuk pintu-Mu dan Kau bukakan
S’bab Kau Bapaku, Bapa yang kekal,
Takkan Kau biarkan aku melangkah hidup sendirian
Kau selalu ada bagiku s’bab Kau Bapaku, Bapa yang kekal

PELENGKAP TATA IBADAH MINGGU SENGSARA II

”Kepahitan”


(Prosesi Hitam)

(Kelompok hitam (KH yang terdiri dari A1, A2, A3) memasuki ruangan dari 3 penjuru dalam iringan lagu irama kematian dan bersimpuh di bawah salib. 3 orang remaja (R) masuk dengan langkah memburu)

R1 Hentikan langkah kalian. Apa ini, apa yang kalian lakukan!
A1 Kami ingin melihat Yesus.
A2 Kami ingin mengikuti-Nya.
A3 Kami ingin memikul salib-Nya.
KH Kami ingin bersama-Nya.
R2 Ah, bodoh, bodoh! Sungguh bodoh! Dia telah mati dan meninggalkan kalian.
R3 Dia kini tak peduli lagi dengan kita.
KH Ya Yesus Tuhan kami, benar, benarkah semua itu?

(3 orang remaja berlari meninggalkan ruangan. Dan kelompok hitam terduduk serta menunduk)

Khadim Dunia semakin tua, dunia tak lagi memberikan kenyamanan. Manusia saling menggigit dan saling menelan. Anak-anak menjerit, merindukan kehadiran orang tua dan manusia lainnya berpangku tangan melihat penderitaan di depan mata.

KH Yesus kami ingin mengikuti-Mu. Tetapi mengapa cobaan semakin berat?

(Masuk seorang Ayah dengan peralatan tukang batu dan diiringi dengan lagu ”Ayah”)

A1 Papa, pa, pa, ppapa. Bukankah iitu papaku (tergagap dan tak percaya).
Tuhaaaan, aku sangat merindukannya, mengapa kau terlalu cepat mengambilnya dariku.
KH Bersabarlah dalam penderitaan. Janganlah dosa tercipta dalam keraguanmu.

(Masuk seorang ibu dan berlutut sambil berdoa)

Ibu Ya Tuhan kota bentengku.
Kini anakku telah dewasa dan menjadi manusia yang berhasil. Berilah dia kemurahan-Mu sehingga dia boleh selamat sejahtera, (Terputus oleh sebuah teriakan dan sebuah tarikan tangan)
R3 Mama!!! Sini! Mana surat-surat tanah bagian saya.
Ibu Bukankah sudah ibu berikan tempo hari padamu?
R3 Ah! Ditanya malah balik bertanya. Dasar perempuan tak berguna!

(R3 mendorong kepala sang ibu dan sang ibu langsung rebah di lantai)

A2 Dunia menjadi kacau balau. Tiada ingatkah dia ketika kecil? Namanya selalu menjadi bagian dalam alunan doa sang ibu.

(Terdengar lagu ”Di Doa Ibuku”)

Ibu (Berdiri perlahan-lahan) Tuhaaan, ambilah hidupkku, bawalah aku bersamamu.

(R3 masuk dari depan dengan berlari)

R3 Mama, mamaaaa. Jangan tinggalkan aku.

(Terdengar lagu ”Mama”)

Khadim Manusia, manusia. Akuilah tindak-tandukmu dalam dosa yang kau lakukan. Sadarlah, selalu ada jalan bagi mereka yang dalam sesal mengaku dosa pada-Nya.

(Kelompok Hitam berdiri perlahan dan berjalan bersimpuh di bawah salib)

KH (Melagukan ”Oh Mawu Malondo”)
O mawu malondo Ruata I amang
Elangu meghogho maki ambang
Tulung ampunge Mawu
Haghieng dalawangku
Dan durhakaku su tenggo Nu
A3 Ya Yesus Tuhan kami sungguh besar kuasa dan kasih-Mu. Engkau selalu bersama-sama dengan kami.

(Mendengarkan “Ajakan Mengikuti Sengsara Yesus” dan Jemaat melagukan KJ.No. “Pada Kaki Salib-Mu”



PELENGKAP TATA IBADAH MINGGU SENGSARA III

”Salib-Nya”


Bagian I
Pemuda (Berjalan melewati tempat salib yang kosong)
Oh, ohk, oh tidak apa yang terjadi ini. Di mana, di mana. Mana salib Yesus. Di manaaaaaaaaaaa. (Berlari sambil kebingungan)
Pelayan (Berjalan dengan bingung sambil melihat Pemuda yang berlari)
Anak muda ada apa ini?
Pemuda Mana, mana Dia, mana salib-Nya.
Pelayan Salib, salib. Salib apaan. Dasar pemuda tak berguna.
Iblis (Berjalan dengan pongah) Ha, ha, ha, aku berkuasa, karena akulah penguasa dunia, ha, ha, ha…
Pemuda A, a, a, apa itu. (Lari meninggalkan panggung dengan Pelayan)
Prolog Perbuatan daging telah nyata yaitu: Percabulan, hawa nafsu, penyembahan berhala, perseteruan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, kemabukan, pesta pora bahkan perjudian. Terhadap semua itu ku peringatakan kamu, bahwa barang siapa melakukan hal-hal demikian ia tidak akan mendapat bagian dalam kerajaan Allah.
Akhirnya iblis berhasil menguasai kehidupan manusia dan satu per satu manusia mulai melupakan Tuhan.
Karena semua orang telah berbuat dosa dan kehilangan kemuliaan Allah. Untuk itu, upah dosa ialah maut tetapi Karunia Allah ialah hidup yang kekal dalam Yesus Kristus, Tuhan kita.


Bagian II
Pengawal Huh... kau tidak layak hadir di sini, bikin kacau saja!
Orang 1 Ayo selamatkan diri-Mu sendiri! Katanya Anak Allah... huh!!!
Orang 2 Orang lain Dia bisa selamatkan tapi diri-Nya tidak dapat Dia selamatkan (Tertawa mengejek)
Orang 1 dan 2
(Semua yang berperan sebagai tokoh jahat)
Salib, salibkan Dia.
Lagu NKB.No. 83 ”Nun di Bukit yang Jauh”

Instrumen KJ.No. 401 ”Makin Dekat, Tuhan”
Prolog Suatu tunas akan keluar dari tunggul Isai, dan taruk yang akan tumbuh dari pangkalnya akan berbuah. Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita. Tetapi siapakah yang percaya kepada berita yang kami dengar, dan kepada siapakah tangan kekuasaan Tuhan dinyatakan? Sebagai taruk ia tumbuh di hadapan Tuhan dan sebagai tunas dari tanah kering. Ia tidak tampan dan semaraknyapun tidak ada sehingga kita menginginkannya. Ia dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan. Ia dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia dan bagi kita pun dia tidak masuk hitungan. Tetapi sesungguhnya, penyakit dan hukuman kitalah yang ditanggungnya dan Dia diremukkan oleh kejahatan kita.
Ya itulah Yesus dan penderitaan-Nya. Ia harus membayar harga yang sangat mahal, agar kita bisa masuk hadirat-Nya.
Penderitaan-Nya sungguh luar biasa. Sekali deraan Yesus dicambuk 39 kali. Cambukan yang kuat dan bertubi-tubi mencabik-cabik kulit dan daging Yesus sehingga sekujur tubuh-Nya merah dan rusak, berlumur darah Maha Suci.
Sesudah malam penyiksaan itu, di pagi harinya, setelah Pilatus mengadili-Nya, Ia pun dikenakan mahkota duri yang tajam. Luka di punggung-Nya masih basah, langsung dirobek waktu balok seberat 50 kg dibebankan di bahu-Nya. Ia diseret melewati jalan-jalan kecil di Yerusalem. Ratusan orang mengejek dan menghina Dia bahkan prajurit Roma menendang-Nya berulang-ulang kali. Beberapa kali Yesus terjatuh, bebatuan di jalan merobek kulit-Nya. Tulang pipi-Nya retak terhantam bumi saat Dia terjerembap.
Di bukit Golgota, tangan dan kaki Yesus di paku. Darah menyembur saat paku sepanjang 20 cm menembus. Yesus harus menahan seluruh berat tubuh-Nya. Dada-Nya mulai sesak, paru-paru-Nya terisi darah. Dalam penderitaan yang sangat hebat, Yesus masih sempat berkata,
Yesus “Bapa, ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.”
Prolog Seperti biasa, Ia selalu menegadah ke langit mencarii Bapa, sumber hidup-Nya. Tetapi waktu itu langit kelam, matahari di sembunyikan awan pekat. Pekatnya dosa anak-anak manusia. Bapa memalingkan wajah-Nya, saat itulah Yesus berseru,
Yesus “Eli, Eli Lama Sabakhtani.”
Prolog Itulah penghukuman yang Dia terima karena dosa kita.
Penderitaan yang Yesus jalani ini, untuk cinta dan demi pulihnya hubungan yang indah dengan kita manusia. Untuk itu lakukanlah segala hal dalam hidup ini karena cinta kepada Yesus dan seperti cinta-Nya kepada kita.
Karena Firman Tuhan berkata: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.
Iblis (Lari ketakutan sambil berteriak)
Tidak.........................tidaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaak.


Bagian III
Prolog Dengan rasa bersalah dan penuh kesadaran, manusia datang berlutut dan mengaku dosa-dosa yang mereka perbuat.
Pemuda Ya Yesus, ampuni aku. Berulang kali Kau kusalibkan. Kini, jadikan aku pengikut-Mu.
Pelayan Ampunilah aku. Berulang kali aku berbicara tentang Mu, tapi aku tidak mau tahu dengan salib-Mu.
Kini, aku siap memikul salib dan menyangkal diri.
Lagu KJ.No. 368 “Pada Kaki Salib-Mu”
Prolog Yang mau mengikut-Nya, haruslah menyangkal diri dan memikul salib.
Dan jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan. Amin.

PELENGKAP TATA IBADAH MINGGU SENGSARA IV

”Kitalah yang Mati”


Babak 1
Solo KJ.No.368 “Pada Kaki Salib-Mu”

(Tiga Kelompok Perempuan yang masing-masing terdiri dari tiga orang, masuk dari tiga jurusan berbeda, dan yang terdepan membawa karangan bunga)

Musafir Berhenti!!! Dari manakah kalian.
Ibu 1 Kami baru saja menjenguk Yesus.
Ibu 2 Kami membawa bunga untuk-Nya.
Ibu 3 Mudah-mudahan, Dia tersenyum dengan bunga-bunga itu.
Musafir (Tertawa terbahak-bahak) Mari, mari sini. Ayo kita balik lagi.
Musafir (Mengambil karangan bunga dan melemparkannya ke lantai di hadapan Tiga Kelompok Perempuan)
Ambil bunga-bunga kalian ini. Di sini bukan lagi Yesus yang mati, tetapi kalianlah yang mati.
Musafir Mari, mari datang mendekat dan lihatlah siapa yang kini tergantung di salib dan mati.

(Tiga Kelompok Perempuan datang mendekat. Melihat ke dalam cermin yang tergantung di salib dan amat terkejut)

Ibu 1,2,3
Oh, ohk tidak, tidak mungkin. Tidak mungkin ini terjadi
(Tiga Kelompok Perempuan kemudian terduduk di pinggiran ruangan)
Musafir Apa? Tidak, tidak mungkin? Ini semua adalah nyata. Dan kalianlah yang membuat semua itu.
Ibu 1,2,3
Mengapa, mengapa harus kami?
Musafir Kalau kalian masih sangsi dan tidak percaya. Ini! Lihatlah gambaran hidup kalian yang telah berlalu.

(Semua meninggalkan panggung dan diisi dengan sebuah lagu)
Solo Lagu ”Hari Kiamat”


Babak 2
Janda (Berlutut dengan posisi menyamping di depan salib)
Oh Tuhan mengapa hidupku seperti ini. Mengapa kau ambil segala-galanya dariku. Ya Tuhan, aku sangat merindukan suami dan anak-anakku. Mengapa mereka harus mengalami kecelakaan itu dan mati.
Tuhan ambil, ambillaaaah hidupku.
Ibu 1 (Masuk dengan tergesa-gesa dan terkejut melihat si janda)
Aaah, dasar janda tak tahu diuntung. Minta dikasihani lagi pergi, pergi sana. Dan jangan berdoa lagi di gereja ini.
Mungkin ingin perhatian dari suami orang! Ha, ha, ha.

(Keluar dari ruangan)

Ibu 2 Sulit, sulit semua serba sulit. Barang-barang semakin mahal.Gaji suami ditambah dengan gaji saya juga tidak cukup.
Suami Ma, mama. Ada apa ini?
Ibu 2 Hei, kamu ini seharusnya tahu diri. Apa yang kamu berikan tidak sebanding dengan apa yang kita butuhkan.
Suami Tapi, tapi bukankah,
Ibu 2 Ahk saya tidak mau tahu. Pokoknya kamu harus usahakan dengan cara apa pun. Atauuu, korupsi sajalah,
(Suami berjalan meninggalkan ruangan)
Ibu 2 Hei!!! Sini dulu! Dasar suami tak tahu diuntung.
Anak Ma, mama. Tadi ibu guru di sekolah bilang kami harus membawa,,,, (Terhenti)
Ibu 2 (Menjambak rambut dan memukul si anak)
Sudah tahu orang tua lagi susah, mau minta ini, minta itu. Pergi sana!!!

(Ibu 2 pun keluar dari ruangan sambil berpapasan dengan seorang nenek. Ketika berpapasan Ibu 2 menyenggol dan terus berlalu)

Nenek (Terjatuh dan berdiri perlahan-lahan)
Ibu 3 (Masuk ke dalam ruangan dari arah berlawanan) Ma, mama. Di mana mama. (Suara perlahan kemudian berubah menjadi panggilan yang membentak) Mama, mama! Ahk sudah tua masih bikin pusing saja.
Nenek Anakku, mama merasa sakit.
Ibu Iya, tapi sudahlah, jangan lagi jalan ke sana, jalan ke sini. Mama kan seharusnya menjaga cucu.
Nah sekarang sana, minum obat di dapur dan kalau sudah tidur saja di kamar belakang. (Berlalu dari ruangan)
Nenek (Berlutut dan berdoa) Ya Bapa ampunilah dosa-dosa kami.

(Nenek kemudian berdiri dan berjalan perlahan, ke luar ruangan sambil solo membawakan lagu)

Solo Lagu ”Di Doa Ibuku”


Babak 3
(Musafir dan Tiga Kelompok Perempuan berada kembali di posisinya masing-masing)

Musafir Adakah kalian mengingatnya lagi?
Ibu 1,2,3
Bukankah itu sebuah kewajaran.
Khadim Celakalah kalian gembala-gembala Israel, yang menggembalakan dirinya sendiri! Bukankah domba-domba yang seharusnya digembalakan oleh gembala-gembala? Yang lemah tidak kamu kuatkan, yang sakit tidak kamu obati, yang luka tidak kamu balut, yang tersesat tidak kamu bawa pulang, yang hilang tidak kamu cari, melainkan kamu injak-injak mereka dengan kekerasan dan kekejaman.

(Musafir keluar dari ruangan dan Tiga Kelompok Perempuan berlutut jauh dari kaki salib)

Solo NKB.No. 83 ”Nun Di Bukit Yang Jauh”

(Sementara lagu dinyanyikan, Musafir kembali masuk dengan Sembilan anak-anak dan khadim turun dari mimbar serta menyuapi anak-anak dengan makanan sebagai simbolisasi gembala yang baik)

Musafir Firman Tuhan berkata: ”Yang hilang akan Kucari, yang tersesat akan Kubawa pulang, yang luka akan Kubalut, yang sakit akan Kukuatkan, ............... sebab Aku akan mendirikan bagi mereka suatu taman kebahagiaan, sehingga di tanah itu tidak seorangpun akan mati kelaparan dan mereka tidak lagi menanggung noda.

Solo KJ.No. 372 ”Inginkah Kau Ikut tuhan”

(Sembilan anak mengajak Tiga Kelompok Perempuan yang berlutut untuk datang di bawah salib dan berlutut)



PELENGKAP TATA IBADAH MINGGU SENGSARA V

”Penderitaan”


Part 1
(Tiga orang berpakaian putih masuk sambil disiksa oleh tiga orang berpakaian hitam)

Hitam 1,2,3 (Bersamaan) Jalan!!!............................Ayo jalan!

(Dalam adegan penyiksaan, Tiga orang berpakaian putih digiring oleh tiga orang berpakaian hitam sampai di depan)

Hitam 1 Hidup adalah sebuah penderitaan. Seorang laki-laki adalah budak hawa nafsu dan angkara murka.
Hitam 2 Jangan sekali-kali kalian mencoba mencari jalan keluar dari kami. Karena kami selalu ada untuk kalian.
Putih 1 Tidak, tidak. Aku tidak akan lari dari kalian. Tuan dari nafsu dan kemurkaan.
Siksa, siksa aku dalam kenistaan. Aku sangat menikmati dunia ini. Oh wanita, di mana wanita-wanitaku yang cantik dan montok.
Putih 2 Tapi, tapi akuu. Ah, bukankah kita orang beriman seharusnya kita tidak boleh menjadi budak dari dunia. Tapi, tttapi, mengapa nikmat dunia tidak bisa ku tolak?
Hitam 1,2,3 (Bersamaan tertawa terbahak-bahak) Huaha,.... ha, ha, hah.
Putih 3 (Berlari menuju salib dan tersungkur) Ya Tuhan, mengapa, mengapa beban hidup ini begitu berat.
Kenapa para suami selalu hidup dalam penderitaan.
Hitam 1,2,3 (Bersamaan tertawa terbahak-bahak) Huaha,.... ha, ha, hah.
Hitam 3 Bodoh, sungguh tolol!!! Hidup dalam keluarga adalah sebuah penyiksaan. Suami adalah budak isteri dan anak-anak. Kenapa harus bertanya lagi.
Apalagi, kepada Dia yang tidak bersama-sama dengan kita.
Solo Lagu ”B’ratkah Beban Hidupmu”
(Hitam dan Putih ke luar dari ruangan)


Part 2
Khadim Penderitaan dan pergumulan akan senantiasa berlangsung. Kini seluruh makhluk, bersama-sama merindukan pembebasan.

(Musafir kemudian menyingkir dan menjadi pengamat dari jauh terhadap adegan yang akan berlangsung. Kemudian dari arah belakang seorang wanita berjalan dengan setengah berlari diikuti oleh Putih 3 sebagai suami)

Isteri Ah!!! Dasar suami goblok, suami tak tahu diri.
Putih 3 Ma, mama. Nanti dulu. Dengarkan penjelasan papa.

(Terus berjalan sampai di depan)

Isteri Seharusnya sebagai suami, kamu tidak membiarkan isterimu kelaparan seperti.
Putih 3 Lapar, apa yang kamu maksudkan? Bukankah setiap setiap hari kita selalu makan dan anak-anak pun tidak pernah berteriak karena lapar.
Isteri Buodoh! Sini dengarkan baik-baik. (Menarik kasar putih 3)
Bukan ini yang lapar, tetapi mata! Mata ini yang selalu lapar dan tidak kamu turuti.
Putih 3 Seharusnya kamu sabar dan,
Isteri (Tertawa sinis) Apa, aapa! Saya harus sabar. Kamu saja yang sabar. Mulai sekarang kamu urus anak-anak. Dan jangan pernah memikirkan aku. Selamat tinggal. Selamat tinggal kemiskinan.

(Setelah beberapa saat, ketika Putih 3 jatuh terduduk dan merenung. 2 orang anak masuk)

Anak 1,2 Papa, papa.
Anak 1 Kenapa papa duduk di sini.
Anak 2 Kenapa papa bersedih.

(Anak 1 merangkul sang ayah dan anak 2 berdiri di samping sambil bernyanyi penggalan lagu ”Mama”)

Putih 3 Ya Allah, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?

(Putih 3 dan anak-anak meninggalkan panggung dan kemudian setelah keadaan hening seiring dengan masuknya Putih 1 dan 2 maka terdengar instrumen lagu ”Naluri Lelaki” by Samsons)

Part 3
Putih 1 Menjadi lelaki adalah yang terindah dalam hidup ini. Kita adalah raja dan apa yang kita lakukan adalah sebuah kebenaran.
Putih 2 Bukan, bukan begitu. Setahu saya kita hidup untuk yang lain, sehingga isteri dan anak-anak seharusnya menjadi perhatian kita.
Putih 1 Aaaah, isteri dan anak-anak. Ah, tahu apa mereka. Kita kan suami seharusnya kita bisa menjadi penentu dalam hidup. Dan apa yang kita lakukan adalah kenikmatan.
Putih 2 (Berpikir sejenak) Betul, betul apa yang kau katakan. Saya merasakan kebenaran dari mu. Sepertinya hidup di rumah hanya membosankan. Isteri terlalu cerewet dan anak-anak, oh sungguh menyebalkan.

(Masuk Putih 3 dan dicegat oleh Putih 1 dan 2)
Putih 1 Hei, hei kamu. Nanti, nanti dulu. Kenapa kau murung. Bikin malu laki-laki saja.
Putih 2 Saya dengar dia ditinggal isterinya.
Putih 1 Hah! Ha, ha, ha. Kenapa harus susah biarkan, biarkan isterimu. Kenapa harus pusing. Mari, mari kita cari yang lebih montok dan lebih cuaantik.

(Berjalan ke luar sambil mengajak Putih 2)

Putih 3 Ya Bapa, ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.

(Masuk Anak 1 dan 2)

Anak 1 Papa, papa.
Anak 1 dan 2
Kami merindukan mama.
Putih 3 (Berteriak) Huah!!!!! Pergi, pergi kalian semua.
Ya Tuhan aku tidak mampu lagi dengan semua ini. Lebih baik aku mati.

(Tiba-tiba masuklah sang isteri)

Isteri Tidak, tidak jangan kau berkata begitu.
Putih 3 Mama. Ya Tuhan benarkah semua ini.
Anak 1 dan 2
(Masuk bersamaan) Mamaaaa.
Putih 3 Ya Tuhan. Terima kasih atas berkat-Mu. Apa yang Engkau lakukan terlalu tinggi, tidak mampu kami selami.
Solo Lagu ”Tangan yang Berlubang Paku”
Khadim Mereka yang berjalan dalam kenistaan akan senantiasa disiksa oleh dosa. Dan, wahai kamu yang mau kembali ke jalan Allah. Mari, mari datanglah dalam kepastian sebab Yesus senantiasa menunggumu.

(Masuklah Putih 2 sambil berlari dengan penuh sesal)

Putih 2 Ya Tuhan, trima aku, terimalah aku bersama-Mu.
Solo Lagu ”Kerinduan”
Khadim Inilah realita dalam hidupmu, hidup kita semua.
Kh + Jem Lagu KJ.No.381 ”Yang Maha Kasih” Selengkapnya...(Read More)

Melayani dan Berkhotbah

Melayani dan Berkhotbah



Materi 01.

MELAYANI
1. Efesus 4:1 – 16.
2. Filipi 2:1 – 11.
3. Matius 25:31 – 46.

Gereja terpanggil memberitakan Injil dengan perkataan dan perbuatan. Hal ini harus berpola pada pelayanan Yesus yaitu bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani. Dalam rangka pelayanan kasih itulah Yesus rela menjadi sama seperti hamba dan bahkan memberikan nyawa-Nya untuk kehidupan orang banyak. Itulah sebabnya Gereja sebagai tubuh Kristus berfungsi juga seperti persekutuan pelayanan kasih. Pelayanan kasih itu diwujudnyatakan dalam berbagai bentuk yaitu: pelayanan (berbagi berkat dengan orang miskin, para janda, duda, yatim piatu, orang sakit, dsb) dan pelayanan transformative (memberdayakan anggota-anggota jemaat agar mampu mengubah dan memanfaatkan lingkungannya baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam untuk kesinambungan dan kesejahteraan kehidupan manusia dan ciptaan lainnya serta tercipta keutuhan dan kelestarian ciptaan. Itulah tanda-tanda kerajaan Allah.
Pelayanan transformative menjadi salah satu titik berangkat dari tugas-tugas yang kita pikul sebagai orang percaya, yang sudah secara pribadi menyatakan: “siap melakukan berbagai pekerjaan pelayanan”.
Kemudian yang harus menjadi catatan dalam menjalani kehidupan sebagai orang percaya adalah pelayanan berawal dari sebuah tugas yang dipercayakan kepada kita, namun kini seiring dengan pertumbuhan iman ke arah kedewasaan maka pelayanan harus menjadi sebuah totalitas dari hidup orang percaya. Sama seperti Kristus Yesus yang telah mengosongkan diri-Nya dan hidup sebagai seorang hamba (pelayan) maka demikian juga dengan kehidupan kita, yaitu Hidup sebagai seorang Hamba.


KHOTBAH
Manusia tidak dapat mengerti Allah bila Allah tidak memberikan kepada kita sebuah ruang untuk mengerti arti dari kehadiran dan pekerjaan yang dilakukan-Nya bagi kita.
Khotbah adalah salah satu bentuk pemberitaan (kesaksian) orang Kristen. Khotbah dalam arti utuh mencakup dua hal penting, yaitu Pengkhotbah (yang membawakan khotbah) dan Berkhotbah (cara membawakan khotbah).
Secara khusus Khotbah Kristen memiliki beberapa ciri:
a. Kabar Kesukaan.
Khotbah itu adalah kabar kesukaan. Sebuah kabar sukacita yang tersebar dalam seluruh isi kitab suci, terutama ketika kabar ini dinyatakan oleh para malaikat di awal Injil Lukas, “Jangan takut, sebab sesungguhnya Aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa”. (Lukas 2:10)
b. Kabar untuk Jemaat.
Khotbah disampaikan kepada suatu komunitas tertentu (Jemaat). Jadi khotbah harus dapat menampilkan sesuatu yang baru bagi para pendengarnya.
c. Kata untuk Kehidupan Sehari-hari.
Cirri khotbah ini adalah bahwa khotbah itu firman Allah untuk manusia, yang ada dalam kehidupannya sehari-hari dengan segala suka dan dukanya. Jemaat menghayati pelbagai persoalan secara sadar ataupun tidak sadar. Khotbah merupakan penyorot pada kehidupan sehari-hari. Khotbah berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan jemaat baik yang disadari atau tidak dengan menunjuk kepada yang diketahui dan dijanjikan oleh kitab suci.
d. Kata Ajakan.
Suatu khotbah juga harus mengandung ajakan. Maksud khotbah bukannya sekedar menambah pengetahuan. Memang pengetahuan itu perlu, namun tidak cukup. Khotbah bukan merupakan suatu ceramah, tetapi suatu Kata Ajakan Aktif.

A. Persiapan.
Mempersiapkan diri untuk dapat berkhotbah dengan baik harus diawali dengan sebuah perenungan pribadi atau dengan kata lain “berdoa”. Hal ini akan membiasakan seorang pengkhotbah yang baik untuk menyadari bahwa apa yang sementara dilakukannya adalah sebuah pekerjaan untuk memuliakan Allah bukan semata untuk menyenangkan hati pendengarnya.
Seorang pengkhotbah yang baik harus dapat menyadari dengan benar perbedaan antara “berbicara tentang Tuhan” dengan “berbicara dengan Tuhan” sehingga apa yang akan dikhotbahkannya, benar-benar lahir dari sebuah perenungan yang dalam dan yang akan nyata dalam kehidupannya.

B. Mencari Nas Alkitab.
Memulaikan langkah pertama adalah kesulitan yang harus dapat diatasi dengan baik dan tepat. Mencoba cara instant adalah sebuah alternative dan bukan merupakan jalan yang terbaik. Untuk itu ada 3 hal yang harus diperhatikan:
1. Hubungan Orang Percaya dengan Alkitab.
Seorang Pelayan yang dapat berkhotbah dengan baik harus mampu menyediakan waktu, yang bisa diisi dengan pembacaan dan pengenalan Kitab Suci dengan baik
2. Tahun Gerejawi. Minggu-minggu Advent, Natal, Sesudah Natal, Minggu-minggu Sengsara, Paskah, Sesudah Paskah, Kenaikan Tuhan Yesus Kristus, Pentakosta dan minggu-minggu sesudahnya.
3. Pengalaman dan Kebutuhan Jemaat.
Interaksi yang baik antara Pengkhotbah dengan anggota komunitas di sekitarnya, akan memampukannya melihat berbagai realitas unik, urgen dan menarik untuk dijadikan sebagai bahan dasar dari sebuah khotbah.

C. Nas yang Baik.
Untuk pengkhotbah pemula sebaiknya memperhatikan 3 hal ini, yaitu:
1. Nas yang didapat sebaiknya merupakan sebuah keutuhan yang bulat.
Nas yang utuh artinya ia berdiri dalam satu tema tertentu (mis: Filipi 1:3 – 11). Jika suatu ayat berakhir dengan koma atau titik dua(mis: Lukas 19:41) atau mulai dengan kata-kata seperti “sebab”, yang menyatakan ayat itu menerangkan ayat atau kisah di muka (1 Petrus 1;16) maka ayat itu tidak merupakan keutuhan yang bulat dan sebaiknya jangan dipakai sebagai nas.
Dan bila kita mengambil nas dari I Korintus 11:1, “Jadilah pengikutku, sama seperti aku juga menjadi pengikut Kristus”, kita dapat menerima nas ini bulat-bulat dan dapat diterangkan pada pendengar yang ada.
2. Nas itu harus bersifat praktis.
Nas yang dipilih harus dapat memperhatikan latar belakang pendengar atau anggota jemaat yang akan hadir. Apakah teridiri dari orang Kristen yang masih baru atau yang sudah lama, ataukah dari sudut pembagian kategorial, bahkan campuran.
3. Nas itu harus jelas.
Nas yang disampaikan harus sedapat mungkin dijelaskan dengan baik dan sebaiknya juga nas yang dipilih harus jelas atau mudah dimengerti oleh pendengar.
D. Penafsiran yang Baik.
Menafsirkan suatu nats adalah menemukan artinya. Untuk itu, penafsiran yang baik patut memperhatikan petunjuk-petunjuk yang berikut ini,
1. Membaca dengan tekun dan berulang-ulang.
2. Kedudukan nas di dalam Alkitab.
Sebuah syarat yang tidak bisa ditawar-tawar pada zaman sekarang ialah seorang pengkhotbah yang baik harus dapat memperlengkapi dirinya dengan berbagai literature penunjang seperti Ensiklopedi, Kamus, Peta, Buku Latar Belakang dan Tafsiran, bahkan Buku Sejarah.
3. Bentuk sastra dari nas yang ditemukan.
Cerita (Matius), Puisi (Kidung Agung), Sejarah (Yosua) dan bahkan Surat (Filemon)
4. Setiap kata dalam nas.
Contoh dari Perjanjian Lama, Mazmur 119:105 “Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku.”
Firman-Mu. Ini adalah Firman Tuhan, Firman yang disabadakan oleh Allah. Sesuatu yang Ia nyatakan dari diri-Nya sendiri. Tidak semuanya yang dari diri-Nya sendiri Ia nyatakan, tetapi hanya yang perlu bagi kita dan anak-anak kita.
Pelita. “Suluh” adalah alat pembantu di dalam gelap. Dari kata ini, dapat diambil kesimpulan bahwa dunia adalah gelap.
Kakiku. Anehnya, tidak ditulis di sini “hatiku”. Apa sebabnya? Orang Kristen adalah seorang pejalan kaki; pejalan kaki harus menggunakan kakinya. Untuk pergi di waktu malam ia memerlukan lampu (pelita), sebab di dalam gelap ia mudah kehilangan arah. Firman Tuhan berguna untuk untuk hidup yang nyata ini.
Jalanku. Pelita hanya menerangi sebagaian dari jalan. Tetapi bagian jalan yang gelap, yang diterangi oleh pelita Firman, sudah cukup untuk kakiku.

F. Susunan Khotbah Sederhana (Tematis).
Sebuah khotbah yang baik harus memiliki alur yang ditentukan oleh garis-garis pokok tertentu dan memiliki tujuan yang jelas. Untuk itu kita harus dapat menyusun suatu khotbah dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Khotbah sebaiknya memiliki sebuah garis besar yang dinamakan Tema. Tema yang baik harus pendek dan diambil dari nas yang dipilih bukan sebaliknya. Tema yang baik adalah sederhana atau teridiri dari satu atau pokok saja.
2. Pembagian Tema. Sebaiknya tema yang ada, kemudian dibagi menjadi beberapa sub tema, yang berurutan secarta logis.
Suatu khotbah dengan mengambil tema “Kuasa Salib” bersandarkan I Korintus 1;18 dapat dibagi sebagai berikut:
a. Kuasa yang dangkal;
b. Kuasa yang diterima;
c. Kuasa yang menguatkan manusia.
Dalam khotbah tematis, ada juga yang memiliki sub-tema yang meningkat dari bawah menuju titik klimaks.
Cerita tentang penyembuhan sepuluh orang yang sakit usta (Lukas 17:1 – 19) dapat bertemakan: Siapa yang telah percaya kepada-Nya? (berdasarkan ayat 19). Pembagiannya sebagai berikut:
a. Sepuluh orang sakit telah memohon kesembuhan;
b. Sepuluh orang sakit telah sembuh;
c. Seorang berterimakasih kepada Tuhan atas kesembuhannya. Dialah yang memiliki kepercayaan sejati.
3. Tujuan. Klimaks khotbah erat sekali berhubungan dengan tujuan. Setiap khotbah mempunyai tujuan dan pada umumnya memiliki 4 tujuan, yaitu:
a. Tujuan Pekabaran Injil. Nada dasar khotbah bukanlah ajaran atau ilmu tetapi pengharapan dan kegembiraan. “Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran” (2 Timotius 4:2).
b. Tujuan Pembangunan Rohani. Khotbah harus membangun jemaat dalam pengertian tentang hal-hal rohani. Dengan pemberitaan yang teratur, lambat laun jemaat akan memperoleh pengertian yang mendalam tentang Kerajaan Allah, seperti yang dintakan dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
c. Tujuan Dogmatik. Tujuan ini harus benar-benar dipikirkan secara matang dengan mempertimbangkan kebutuhan anggota jemaat akan hal yang dimaksud.
d. Tujuan Etika. Klhotbah memiliki tujuan untuk menunjukkan kepada orang Kristen, bagaimana ia harus hidup, sesuai dengan Injil, misalnya tanpa rasa takut sedikitpun mengakui kesalahan yang sudah dilakukan.
Keempat tujuan ini selain dapat berdiri sendiri, dapat juga saling terjalin untuk dapat membentuk sebuah klimaks dalam khotbah.
4. Mengakhiri Khotbah. Sebuah khotbah harus dapat menemukan penutup yang tepat, sama seperti dengan yang diusulkan di bawah ini:
1. “Amin” sebelum diharapkan.
2. Tutuplah khotbah dengan kesimpulan.
3. Arah. Kesimpulan penutup sebaiknyalah memberikan arah yang jelas. Khotbah, yang mempunyai isi yang baik, dapat dirusak oleh kesimpulan yang tidak terarah dengan jelas.
4. Singkat dan tegas.
5. Aneka ragam kesimpulan. Dalam bentuk Penerapan, Pertanyaan, Lukisan dan Syair.

G. Cerita Pendek atau Ilustrasi (Penerangan).
Ada begitu banyak khotbah yang berhasil dan disukai oleh banyak orang bahkan membawa efek emosional yang tinggi, semata-mata oleh karena adanya cerita pendek atau sebuah ilustrasi. Contoh: Kemarahan raja Daud yang diakibatkan oleh cerita pendek yang diajukan oleh nabi Natan (2 Samuel 12) dan berbagai perumpamaan yang dibawakan oleh Yesus.
Dalam membawakan cerita pendek dan ilustrasi, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu:
1. Jangan terlalu panjang, sederhana dan jelas. Walaupun indah, kaca jendela yang bercorak-corak tidak dapat meneruskan sinar matahari.
2. Jangan ber5dusta dalam menceritakan pengalaman atau bsebuah peristiwa.
3. Jangan memberi lukisan yang menyindir suatu golongan atau suku bangsa.
4. Jangan terlalu banyak menggunakan cerita pendek. Rumah memang baik kalau berjendela, tetapi bagaimana kalau semuanya jendela?
Cerita pendek atau ilustrasi dapat diletakkan dimana saja asalkan tidak merusak jalannya khotbah.

H. Membawakan Khotbah.
Berkhotbah atau membawakan khotbah adalah berbeda sekali dengan mempersiapkan khotbah. Sesudah persiapan, akhirnya tibalah saatnya khotbah itu dibawakan. Ini adalah peristiwa yang penting dan terkadang menjadi factor penentu bagi para pemula. Untuk itu dalam berkhotbah sangat perlu diperhatikan beberapa hal, yaitu sebagai berikut:
1. Cara membawakan.
Cara mebawakan khotbah harus benar-benar melibatkan berbagai anggota tubuh lainnya, seperti tangan ataupun raut wajah, sehingga dapat lebih menegaskan maksud yang akan disampaikan.
2. Suara.
Dari sudut usia, kuat dan lemahnya suara seseorang sangat mempengaruhi sebuah penyampaian khotbah, namun dengan teknologi yang ada maka hal ini tidak lagi perlu dikuatirkan, hanya saja yang perlu mendapat perhatian, adalah: Nada Suara (Intonasi), Berbicara dengan terang (Artikulasi), Tempo dan Pergantian dalam Suara.
3. Sikap Badan.
Selain suara yang baik, sebaiknyalah diperhatikan pula sikap badan pengkhotbah, selama ia melakukan tugasnya (Sikap, Pandangan dan Keluwesan bergerak).
5. Cara Penyampaian.
Banyak cara yang bisa kita gunakan dalam penyampaian khotbah. Apakah itu dengan cara dibacakan, mencatat garis-garis besar ataukah dengan cara melatihnya terlebih dahulu dan dihafalkan. Hal ini sangat tergantung dengan kenyamanan kita dan dengan memperhatikan pendengar yang ada.

I. Contoh Khotbah Sederhana.
Pembacaan Alkitab: Markus 10:43b – 45.

Saudara-saudara yang saya kasihi,
Ada dua tipe orang kalau bicara soal memberi: ada yang memberi untuk hidup, ada yang hidup untuk memberi. Kedua tipe orang ini tidak hanya punya kebiasaan memberi yang berbeda, tetapi juga filosofi kehidupan yang berbeda.
Mereka yang memberi untuk hidup senantiasa bertanya, ”Berapa banyak yang harus saya berikan?” Karena tujuannya adalah memberi ”secukupnya saja.” orang seperti ini puas dengan hal-hal yang kecil saja.
Orang yang hidup untuk memberi akan selalu bertanya, ”Berapa banyak lagi yang diperlukan?” Sering kali mereka akan terus-menerus menanggapi satu kebutuhan yang sama sampai hal itu benar-benar terpenuhi. Kesukaan mereka adalah menyelesaikan suatu masalah dan memenuhi kebutuhan yang ada. Orang semacam ini berurusan dengan hal-hal yang besar.
Contoh yang paling nyata adalah pengorbanan yang diberikan oleh Yesus Kristus. Dalam pembacaan kita, ayat 45 berkata: ”Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” Yesus tidak pernah bertanya kepada kita, ”apakah yang bisa kita balas untuk pengorbanan-Nya.” Tetapi Dia sementara menatap kita untuk bertanya, ”apakah kita bisa hidup untuk memberi bagi orang lain?”

Saudara-saudara yang diberkati Tuhan,
Orang yang ”memberi untuk hidup” jarang sekali bahagia. Alasannya sangat jelas. Motivasi mereka juga salah; oleh sebab itu imbalan yang diharapkan tidak akan pernah cukup. Orang semacam ini egois dan selalu takut mendapatkan terlalu sedikit.
Sekarang lihatlah pada orang yang hidup untuk memberi. Kepuasan mereka datang saat sudah tidak ada lagi kebutuhan yang perlu dipenuhi. Mereka sungguh bahagia saat memberi. Mengapa demikian? Karena kesukaan mereka adalah menolong orang lain. Mereka sudah cukup senang melihat senyuman terima kasih.
Untuk bisa menjadi seperti ini, maka kita harus sadar bahwa batas rasa egois, ketamakan dan keinginan pribadi harus mampu diterobos, sehingga ketika batas-batas ini boleh dilewati maka kita mulai hidup bagi orang lain dan bukan bagi diri sendiri.
Inilah juga yang dimaksud dengan menyangkal diri, yaitu dengan merendahkan diri kita dan menjadi hamba bagi sesama. Apakah kita mampu?

Amin. Selengkapnya...(Read More)

Thursday, February 26, 2009

monogami

Kristus mengajarkan bahwa Allah sejak semula menginginkan sebuah hubungan monogami, satu suami satu isteri. Namun, karena kebebalan hati umat Israel pada saat itu yang ingin kawin cerai, akhirnya Musa menuruti kemauan mereka untuk membuat surat cerai. Sejak itulah, dalam sejarah, para nabi termasuk raja-raja merasa lumrah untuk memiliki isteri lebih dari satu. Kenyataan ini bisa kita baca dalam Alkitab dimana Raja Daud, raja yang diurapi Allah dan Salomo, raja paling bijaksana di muka bumi memiliki isteri lebih dari satu. Poligami kemudian menjadi suatu hal yang biasa di kalangan rakyat jelata. Bahkan semakin menjadi-jadi dengan menjadikan perempuan sebagai budak belian dan pemuas nafsu laki-laki.
Namun, apa jawaban Kristus tentang hubungan suami isteri ini setelah praktek poligami sudah menjadi hal yang lumrah bahkan membudaya di jaman-Nya? Apakah ia menyetujui poligami? Jawabannya bisa dibaca dalam Kitab Matius 19:3-12. Dalam ayat-ayat ini, Kristus dengan jelas menyatakan bahwa monogami menjadi kehendak Allah sejak semula. Mari kita baca dan bahas bersama-sama. Untuk terjemahan Indonesia, saya menggunakan kitab terjemahan LAI (Lembaga Alkitab Indonesia) dan terjemahan Inggris (melengkapi pemahaman kita karena adanya keterbatasan dari terjemahan bahasa Indonesia), saya menggunakan New Living Translation SE.
Matius 19:3-12
3 Maka datanglah orang-orang Farisi kepada-Nya untuk mencobai Dia. Mereka bertanya: “Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?”
3 Some Pharisees came and tried to trap him with this question: “Should a man be allowed to divorce his wife for just any reason?”
Pada jaman Yesus, orang Farisi dikenal sebagai orang ‘penting’ yang menjunjung tinggi Hukum Taurat. Yesus sendiri sering mengecam mereka dengan menyebut mereka orang yang munafik dan mengibaratkan mereka seperti kuburan yang luarnya putih namun busuk di dalamnya. Orang Farisi tidak menyukai Yesus karena ajaran-ajaran-Nya yang dianggap ‘berbeda’ dan sering menghabiskan waktu dengan orang-orang berdosa. Dalam suatu kesempatan, orang-orang Farisi ingin menjebak Yesus dengan membuat sebuah pertanyaan tentang bolehkah seorang suami menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?
4 Jawab Yesus: “Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan?
4 “Haven’t you read the Scriptures?” Jesus replied. They record that from the beginning ‘God made them male and female.”
Yesus yang sering mengajar dengan membuat perumpamaan, tidak menjawab dengan boleh atau tidak boleh. Ia menjawab, Tuhan sejak semula menciptakan laki-laki dan perempuan. Lewat ayat ini ditemukan satu kebenaran, bahwa Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan BUKAN laki-laki dan perempuan-perempuan. Artinya, satu laki-laki satu perempuan. Ayat ini juga menegaskan bahwa hubungan suami isteri yang Tuhan maksud adalah hubungan antara laki-laki dan perempuan. Jadi, pernikahan sesama jenis, homo dan lesbian, jelas bertentangan dengan kehendak Allah. Apapun justifikasi (pembenaran diri) yang dibuat, Tuhan sejak semula menjadikan manusia, laki-laki dan perempuan.
5 Dan Firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. 6 Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.”
5 And he said, ‘This explains why a man leaves his father and mother and is joined to his wife, and the two are united into one.’ 6 Since they are no longer two but one, let no one split apart what God has joined together.”
Ayat ini benar-benar meneguhkan kita bahwa Tuhan menginginkan pernikahan yang sifatnya monogami. Di situ tertulis, "Mereka bukan lagi dua, melainkan satu (no longer two but one)." Bukan tiga jadi satu atau empat jadi satu, seperti dalam poligami. Dalam ayat ini juga dinyatakan bahwa perceraian tidak pernah ada dalam kamus Allah. Apa yang dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia.
7 Kata mereka kepada-Nya: “Jika demikian, apakah sebabnya Musa memerintahkan untuk memberikan surat cerai jika orang menceraikan isterinya?”
7 “Then why did Moses say in the law that a man could give his wife written notice of divorce and send her away?” they asked.
Orang Farisi kelihatannya tidak puas dan tidak bisa menerima dengan jawaban Yesus ini. Mereka kemudian mempertanyakan mengapa Musa mengijinkan perceraian dengan memberikan surat cerai. Apa jawaban Yesus tentang hal ini? Ini menarik.
8 Kata Yesus kepada mereka: “Karena ketegaran hatimu, Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian.
8 Jesus replied, “Moses permitted divorce only as a concession to your hard hearts, but it was not what God had originally intended.
Yesus menjawab, karena ketegaran hatimu. Rupanya di jaman Musa, umat Israel berkeras hati ingin kawin cerai. Musa akhirnya dengan berat hati, menuruti kemauan umat yang bebal ini. Padahal, sejak semula, manusia kawin cerai bukanlah kehendak Allah. Dalam terjemahan NLT, but it was not what God had originally intended.
9 Tetapi aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah.”
9 And I tell you this, whoever divorces his wife and marries someone else commits adultery - unless his wife has been unfaithful.”
Yesus kemudian melanjutkan bahwa barangsiapa menceraikan isterinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah. Jadi, meskipun seseorang sudah menceraikan isterinya sah demi hukum dan memenuhi ‘persyaratan-persyaratan’ sosial dalam pengadilan agama: istri cacat badan, tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, dan tidak dapat melahirkan keturunan, Kristus dengan tegas menyatakan bahwa orang itu berbuat zinah. Apalagi mereka yang kawin lagi tanpa bercerai alias poligami. Tinggal tambahkan kata ‘banget’, berzinah banget.
Kristus menyatakan bahwa seseorang boleh menceraikan isterinya, kalau isterinya itu berzinah dengan orang lain. Di luar itu, tidak ada persyaratan-persyaratan apapun yang membolehkan seseorang menceraikan isterinya, meski isterinya cacat badan, tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, dan tidak dapat melahirkan keturunan. Kristus menyatakan bahwa suami isteri adalah dua menjadi satu. Satu dalam suka dan duka. Jadi ketika suami atau isteri ditimpa duka, itu adalah duka bersama. Bukan malah menceraikan isteri atau suami karena mendapati salah satu di antara mereka cacat, ‘gagal’ menjadi isteri, dan sebagainya.
10 Murid-murid itu berkata kepada-Nya: “Jika demikian halnya hubungan antara suami dan isteri, lebih baik jangan kawin.” 11 Akan tetapi Ia berkata kepada mereka: Tidak semua orang dapat mengerti perkataan itu, hanya mereka yang dikaruniai saja.
10 Jesus disciples then said to him, “If this is the case, it is better not to marry!” 11 Not everyone can accept this statement," Jesus said. "Only those whom God helps.
Mendengar jawaban Yesus itu, murid-muridnya menjadi skeptis. Kalau memang begitu keadaannya, lebih baik tidak usah kawin. Apa jawaban Yesus?
12 Ada orang yang tidak dapat kawin karena memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena Kerajaan Sorga. Siapa yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti.”
12 “Not everyone can accept this statement,” Jesus said. “Only those whom God helps. Some are born as eunuchs, some have been made eunuchs by others, and some choose not to marry for the sake of the Kingdom of Heaven. Let anyone accept this who can.”
Yesus menjawab bahwa ada orang yang tidak dapat kawin karena terlahir demikian (cacat), ada pula orang dijadikan demikian oleh orang lain (kemaluannya dikebiri), dan ada orang yang secara sadar memilih tidak kawin karena Kerajaan Sorga (Rasul Paulus). Jadi, biarlah kita bisa mengerti bahwa ada tiga jenis orang yang membuat orang itu tidak kawin.
Kesimpulan: Kristus dengan tegas menyatakan MONOGAMI adalah kehendak Allah, sejak semula, sebelum dunia dijadikan.


PEMIMPIN dan KELUARGANYA



Written by Pdt. Dr. M.D. Wakkary
Nov 28, 2007 at 06:18 PM
€œJikalau seorang tidak tahu mengepalai keluarganya sendiri,
bagaimanakah ia dapat mengurus Jemaat Allah?” I Timotius 3:5

Hubungan pernikahan para pemimpin Kristen disorot.
Kehidupan keluarga para pelayan gereja diamat-amati para warga jemaat.
Anggota-anggota yang kita pimpin ingin mencontohi kehidupan keluarga pemimpinnya, sebaliknya kalau keluarga para pelayan gereja tidak beres menjadi bahan omelan dan kritik.
Sebab itu, para pemimpin Kristiani harus memberikan porsi pelayanan yang prioritas kepada keluarganya, setelah kepada Tuhan.
TELADAN YOSUA
Yosua, pemimpin lebih dari 2 juta rakyat Israel setelah Musa meninggal, memberikan keluarganya sebagai contoh untuk seluruh bangsanya.
“Tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada Tuhan” (Yosua 24:15).
Yosua menjadi teladan, bagaimana Ibadah keluarga harus diberi prioritas.
Kepedulian Tuhan kepada keselamatan keluarga, pemulihan seisi rumah tangga, sangat jelas.
- Zakheus. Lukas 19:9
- Kornelius. Kisah 10:2-4.
- Kepala penjara di Filipi. Kisah 16:30

PEMIMPIN JEMAAT DAN PELAYAN
Pemimpin Jemaat (Gembala Sidang & Staf Penggembalaan) harus menjadi kepala keluarga yang baik. (I Timotius 3:4).
Seorang pelayan Tuhan (diaken), haruslah suami dari satu istri, mengurus anak-anaknya dan keluarganya dengan baik. Karena mereka yang melayani dengan baik beroleh kedudukan yang baik. (I Timotius 3:12-13).
SEORANG PELAYAN TUHAN TIDAK BOLEH MELUPAKAN PELAYANAN PADA KELUARGA.
TERUTAMA SUAMI-SUAMI DAN AYAH-AYAH, SELAKU KEPALA KELUARGA, HARUS MENYEDIAKAN WAKTU DAN USAHA UNTUK MELAYANI KELUARGA.
Saya pernah mengetahui, ada hamba Tuhan yang suka keliling melayani ke mana-mana, tetapi keluarganya diabaikan.
Seorang pengajar Firman, ketika ia menguraikan soal keluarga, maka keluarganya harus dapat dijadikan contoh, model atau panutan.
Jangan kita mengajar anak-anak jemaat supaya menjauhi pengaruh duniawi, anak sendiri ternyata pecandu narkoba.
Jangan kita mendorong orang-orang muda melayani Tuhan, tetapi anak sendiri masih sulit untuk setia dalam kebaktian.
Jangan kita mengajak ibu-ibu dalam jemaat untuk aktif dalam pekerjaan Tuhan, tapi istri sendiri tidak rajin melayani.
Beberapa pemimpin dalam Alkitab gagal mentransfer pelayanannya kepada anak-anaknya.
- Dua dari empat anak Imam Besar Harun dihukum mati oleh Tuhan, karena melanggar aturan Tuhan. Imamat 10:1-3
- Anak-anak Imam Eli tewas. I Samuel 2:22-34, 4:16-19
- Anak-anak Samuel. I Samuel 8:2-3.

MEZBAH DOA KELUARGA
Pemimpin/Pelayan harus membangun mezbah doa dalam keluarganya. Yaitu kegiatan sehari-hari untuk berdoa bersama dengan anggota keluarga.
Persekutuan dengan keluarg harus dijaga, melalui :
- mezbah doa keluarga
- beribadah bersama di gereja
- santap bersama keluarga
- aktivitas bersama di rumah
- berlibur bersama
- komunikasi terbuka (‘sharing’)
- persatuan / saling membantu (encouragement).

PERBEDAAN GENERASI ("Generation gap")
Ketidak harmonisan orang tua – anak banyak terjadi karena perbedaan “pandangan”, “selera”, “minat”, “pemahaman nilai”, dll, yang sebenarnya tergolong kepada perbedaan generasi. Kadang-kadang cukup lebar perbedaannya sehingga disebut “generation gap”.
Oleh karena itu acap kali hubungan orang tua – anak tidak cocok alias tidak nyambung dan berakibat “kortsluit” (pemutusan arus pendek).
Untuk hal ini ada janji nubuatan Firman Tuhan dalam Maleakhi 4:6.
“Maka ia akan membuat hati bapa-bapa berbalik kepada anak-anaknya dan hati anak-anak kepada bapa-bapanya supaya jangan Aku datang memukul bumi sehingga musnah.”

ROH KUDUS MEMULIHKAN
Dalam Kisah 2:16-17 dicatat khotbah Petrus tentang Roh Kudus, yaitu berkat Tuhan yang lintas generasi.
Semua generasi dengan cirinya masing-masing dapat kesempatan menjadi alat Tuhan melalui ragam karunia Roh Kudus.
Hubungan pelayan dari generasi muda kepada generasi tua diatur dengan indah dalam I Timotius 5:1-5.
Kewajiban orang tua dan pemuda yg diuraikan dengan gamblang dalam Titus 2:1-8.
Tuhan Yesus Kristus memberkati!


Family
tt=49
A term derived from the Latin, famulus, servant, and familia, household servants, or the household (cf. Oscan famel, servant). In the classical Roman period the familia rarely included the parents or the children. Its English derivative was frequently used in former times to describe all the persons of the domestic circle, parents, children, and servants. Present usage, however, excludes servants, and restricts the word family to that fundamental social group formed by the more or less permanent union of one man with one woman, or of one or more men with one or more women, and their children. If the heads of the group comprise only one man and one woman we have the monogamous family, as distinguished from those domestic societies which live in conditions of polygamy, polyandry, or promiscuity.
Certain anthropological writers of the last half of the nineteenth century, as Bachofen (Das Mutterrecht, Stuttgart, 1861), Morgan (Ancient Society, London, 1877), Mc'Lennan (The Patriarchal Theory, London, 1885), Lang (Custom and Myth, London, 1885), and Lubbock (The Origin of Civilization and the Primitive Condition of Man, London, 1889), created and developed the theory that the original form of the family was one in which all the women of a group, horde, or tribe, belonged promiscuously to all the men of the community. Following the lead of Engels (The Origin of the Family, Private Property, and the State, tr. from the German, Chicago, 1902), many Socialist writers have adopted this theory as quite in harmony with their materialistic interpretation of history. The chief considerations advanced in its favour are: the assumption that in primitive times all property was common, and that this condition naturally led to community of women; certain historical statements by ancient writers like Strabo, Herodotus, and Pliny; the practice of promiscuity, at a comparatively late date, by some uncivilized peoples, such as the Indians of California and a few aboriginal tribes of India; the system of tracing descent and kinship through the mother, which prevailed among some primitive people; and certain abnormal customs of ancient races, such as religious prostitution, the so-called jus primæ noctis, the lending of wives to visitors, cohabitation of the sexes before marriage, etc.
At no time has this theory obtained general acceptance, even among non-Christian writers, and it is absolutely rejected by some of the best authorities of today, e.g. Westermarck (The History of Human Marriage, London, 1901) and Letourneau (The Evolution of Marriage, tr. from the French, New York, 1888). In reply to the arguments just stated, Westermarck and others point out that the hypothesis of primitive communism has by no means been proved, at least in its extreme form; that common property in goods does not necessarily lead to community of wives, since family and marriage relations are subject to other motives as well as to those of a purely economic character; that the testimonies of classical historians in the matter are inconclusive, vague, and fragmentary, and refer to only a few instances; that the modern cases of promiscuity are isolated and exceptional, and may be attributed to degeneracy rather than to primitive survivals; that the practice of tracingkinship through the mother finds ample explanation in other facts besides the assumed uncertainty of paternity, and that it was never universal; that the abnormal sexual relations cited above are more obviously, as well as more satisfactorily, explained by other circumstances, religious, political, and social, than by the hypothesis of primitive promiscuity; and, finally, that evolution , which, superficially viewed, seems to support this hypothesis, is in reality against it, inasmuch as the unions between the male and the female of many of the higher species of animals exhibit a degree of stability and exclusiveness which bears some resemblance to that of the monogamous family.
The utmost concession which Letourneau will make to the theory under discussion is that "promiscuity may have been adopted by certain small groups, more probably by certain associations or brotherhoods" (op. cit., p. 44). Westermarck does not hesitate to say: "The hypothesis of promiscuity, instead of belonging, as Professor Giraud-Teulon thinks, to the class of hypotheses which are scientifically permissible has no real foundation, and is essentially unscientific" (op. cit., p. 133). The theory that the original form of the family was either polygamy or polyandry is even less worthy of credence or consideration. In the main, the verdict of scientific writers is in harmony with the Scriptural doctrine concerning the origin and the normal form of the family: "Wherefore a man shall leave father and mother, and shall cleave to his wife: and they shall be two in one flesh" (Genesis 2:24). "Therefore now they are not two, but one flesh. What therefore God hath joined together, let no man put asunder" (Matthew 19:6). From the beginning, therefore, the family supposed the union of one man with one woman.
While monogamy was the prevailing form of the family before Christ, it was limited in various degrees among many peoples by the practice of polygamy. This practice was on the whole more common among the Semitic races than among the Aryans. It was more frequent among the Jews, the Egyptians, and the Medes, than among the people of India, the Greeks, or the Romans. It existed to a greater extent among the uncivilized races, although some of these were free from it. Moreover, even those nations which practised polygamy, whether civilized or uncivilized, usually restricted it to a small minority of the population, as the kings, the chiefs, the nobles, and therich . Polyandry was likewise practised, but with considerably less frequency. According to Westermarck, monogamy was by far the most commonform of marriage "among the ancient peoples of whom we have any direct knowledge" (op. cit., p. 459). On the other hand, divorce was in vogue among practically all peoples, and to a much greater extent than polygamy.
The ease with which husband and wife could dissolve their union constitutes one of the greatest blots upon the civilization of classic Rome. Generally speaking, the position of woman was very low among all the nations, civilized and uncivilized, before the coming of Christ. Among the barbarians she very frequently became a wife through capture or purchase; among even the most advanced peoples the wife was generally her husband's property, his chattel, his labourer. Nowhere was the husband bound by the same law of marital fidelity as the wife, and in very few places was he compelled to concede to her equal rights in the matter of divorce. Infanticide was practically universal, and the patria potestas of the Roman father gave him the right of life and death over even his grown-up children. In a word, the weaker members of the family were everywhere inadequately protected against the stronger.
The Christian family
Christ not only restored the family to its original type as something holy, permanent, and monogamous, but raised the contract from which it springs to the dignity of a sacrament, and thus placed the family itself upon the plane of the supernatural. The family is holy inasmuch as it is to co-operate with God by procreating children who are destined to be the adopted children of God, and by instructing them for His kingdom. The union between husband and wife is to last until death (Matthew 19:6 sq.; Luke 16:18; Mark 10:11; 1 Corinthians 7:10; see MARRIAGE, DIVORCE). That this is the highest form of the conjugal union, and the best arrangement for the welfare both of the family and of society, will appear to anyone who compares dispassionately the moral and material effects with those flowing from the practice of divorce. Although divorce has obtained to a greater or less extent among the majority of peoples from the beginning until now, "there is abundant evidence thatmarriage has, upon the whole, become more durable in proportion as the human race has risen to higher degrees of cultivation" (Westermarck, op. cit., p. 535).
While the attempts that have been made to show that divorce is in every case forbidden by the moral law of nature have not been convincing on their own merits, to say nothing of certain facts of Old Testament history, the absolute indissolubility of marriage is nevertheless the ideal to which the natural law points, and consequently is to be expected in an order that is supernatural. In the family, as re-established by Christ, there is likewise no such thing as polygamy. This condition, too, is in accord with nature's ideal. Polygamy is not, indeed, condemned in every instance by the natural law, but it is generally inconsistent with the reasonable welfare of the wife and children, and the proper moral development of the husband. Because of these qualities of permanence and unity, the Christian family implies a real and definite equality of husband and wife. They have equal rights in the matter of the primary conjugal relation, equal claims upon mutual fidelity, and equal obligations to make this fidelity real. They are equally guilty when they violate these obligations, and equally deserving of pardon when they repent.
The wife is neither the slave nor the property of her husband, but his consort and companion. The Christian family is supernatural, inasmuch as it originates in a sacrament. Through the sacrament of matrimony husband and wife obtain an increase of sanctifying grace, and a claim upon those actual graces which are necessary to the proper fulfilment of all the duties of family life, and the relations between husband and wife, parents and children, are supernaturalized and sanctified. The end and the ideal of the Christian family are likewise supernatural, namely, the salvation of parents and children, and the union between Christ and His Church. "Husbands, love your wives, as Christ also loved the church, and delivered himself up for it", says St. Paul (Ephesians 5:25). And the intimacy of the marital union, the identification, almost, of husband and wife, is seen in the injunction: "So also oughtmen to love their wives as their own bodies. He that loveth his wife, loveth himself" (Ephesians 5:28).
From these general facts of the Christian family, the particular relations existing among its members can be readily deduced. Since the average man and woman are not normally complete as individuals, but are rather the two complementary parts of one social organism, in which their material, moral, and spiritual needs receive mutual satisfaction, a primary requisite of their union is mutual love. This includes not merely the love of the senses, which is essentially selfish, not necessarily that sentimental love which anthropologists call romantic, but above all that rational love or affection, which springs from an appreciation of qualities of mind and heart, and which impels each to seek the welfare of the other. As the intimate and long association of husband and wife necessarily bring to the surface their less noble and lovable qualities, and as the rearing of children involves great trials, the need of disinterested love, the ability to sacrifice self, is obviously grave.
The obligations of mutual fidelity have been sufficiently stated above. The particular functions of husband and wife in the family are determined by their different natures, and by their relation to the primary end of the family, namely, the procreation of children. Being the provider of the family, and the superior of the wife both in physical strength and in those mental and moral qualities which are appropriate to the exercise of authority, the husband is naturally the family's head, even "the head of the wife", in the language of St. Paul. This does not mean that the wife is the husband's slave, his servant, or his subject. She is his equal, both as a human being and as member of the conjugal society, save only that when a disagreement arises in matters pertaining to domestic government, she is, as a rule, to yield. To claim for her completely equal authority with the husband is to treat woman as man's equal in a matter in which nature has made them unequal. On the other hand the care and management of the details of the household belong naturally to the wife, because she is better fitted for these tasks than the husband.
Since the primary end of the family is the procreation of children, the husband or wife who shirks this duty from any but spiritual or moral motives reduces the family to an unnatural and unchristian level. This is emphatically true when the absence of offspring has been effected by any of the artificial and immoral devices so much in vogue at present. When the conjugal union has beenblessed with children, both parents are charged, according to their respective functions, with the duty of sustaining and educating those undeveloped members of the family. Their moral and religious formation is for the most part the work of the mother, while the task of providing for their physical and intellectual wants falls chiefly upon the father. The extent to which the different wants of the children are to be supplied will vary with the ability and resources of the parents. Finally, the children are bound, generally speaking, to render to the parents implicit love, reverence, and obedience, until they have reached their majority, and love, reverence, and a reasonable degree of support and obedience afterward.
The most important external relations of the family are, of course, those existing between it and the State. According to the Christian conception, the family, rather than the individual, is the social unit and the basis of civil society. To say that the family is the social unit is not to imply that it is the end to which the individual is a means; for the welfare of the individual is the end both of the family and of the State, as well as of every other social organization. The meaning is that the State is formally concerned with the family as such, and not merely with the individual. This distinction is of great practical importance; for where the State ignores or neglects the family, keeping in view only the welfare of the individual, the result is a strong tendency towards the disintegration of the former. The family is the basis of civil society, inasmuch as the greater majority of persons ought to spend practically all their lives in its circle, either as subjects or as heads. Only in the family can the individual be properly reared, educated, and given that formation of character which will make him a good man and a good citizen.
Inasmuch as the average man will not put forth his full productive energies except under the stimulus of its responsibilities, the family is indispensable from the purely economic viewpoint. Now the family cannot rightly discharge its functions unless the parents have full control over the rearing and education of the children, subject only to such State supervision as is needed to prevent grave neglect of their welfare. Hence it follows that, generally speaking, and with due allowance for particularconditions, the State exceeds its authority when it provides for the material wants of the child, removes him from parental influence, or specifies the school that he must attend. As a consequence of these concepts and ideals, the Christian family in history has proved itself immeasurably superior to the non-Christian family. It has exhibited greater fidelity between husband and wife, greater reverence for the parents by the children, greater protection of the weaker members by the stronger, and in general a more thorough recognition of the dignity and rights of all within its circle. Its chief glory is undoubtedly its effect upon the position of woman. Notwithstanding the disabilities--for the most part with regard to property, education, and a practically recognized double standard of morals--under which the Christian woman has suffered, she has attained to a height of dignity, respect, and authority for which we shall look in vain in the conjugal society outside of Christianity. The chief factor in this improvement has been the Christian teaching on chastity, conjugal equality, the sacredness of motherhood, and the supernatural end of the family, together with the Christian model and ideal of family life, the Holy Family at Nazareth.
The contention of some writers that the Church's teaching and practice concerning virginity and celibacy, make for the degradation and deterioration of the family, not only springs from a false and perverse view of these practices, but contradicts the facts of history. Although she has always held virginity in higher honour than marriage, the Church has never sanctioned the extreme view, attributed to some ascetical writers, that marriage is a mere concession to the flesh, a sort of tolerated carnal indulgence. In her eyes the marriage rite has ever been a sacrament, the married state a holy state, the family a Divine institution, and family life the normal condition for the great majority of mankind. Indeed, her teaching on virginity, and the spectacle of thousands of her sons and daughters exemplifying that teaching, have in every age constituted a most effective exaltation ofchastity in general, and therefore of chastity within as well as without the family. Teaching and example have combined to convince the wedded, not less than the unwedded , that purity and restraint are at once desirable and practically possible. Today, as always, it is precisely in those communities wherevirginity is most honoured that the ideal of the family is highest, and its relations purest.
Dangers for the family
Among these are the exaltation of the individual by the State at the expense of the family, which has been going on since the Reformation (cf. the Rev. Dr. Thwing, in Bliss, "Encyclopedia of Social Reform"), and the modern facility of divorce (see DIVORCE), which may be traced to the same source. The greatest offender in the latter respect is the United States, but the tendency seems to be towards easier methods in most of the other countries in which divorce is allowed. Legal authorization and popular approval of the dissolution of the marriage bond, not only breaks up existing families, but encourages rash marriages, and produces a laxer view of the obligation of conjugal fidelity. Another danger is the deliberate limitation of the number of children in a family. This practice tempts parents to overlook the chief end of the family, and to regard their union as a mere means of mutual gratification. Furthermore, it leads to a lessening of the capacity of self-sacrifice in all the members of thefamily. Closely connected with these two evils of divorce and artificial restriction of births, is the general laxity of opinion with regard to sexual immorality. Among its causes are the diminished influence of religion, the absence of religious and moral training in the schools, and the seemingly feebler emphasis laid upon the heinousness of the sin of unchastity by those whose moral training has not been under Catholic auspices. Its chief effects are disinclination to marry, marital infidelity, and the contraction of diseases which produce domestic unhappiness and sterile families.
The idle and frivolous lives of the women, both wives and daughters, in many wealthy families is also a menace. In the position which they hold, the mode of life which they lead, and the ideals which they cherish, many of these women remind us somewhat of the hetæræ of classical Athens. For they enjoy great freedom, and exercise great influence over the husband and father, and their chief function seems to be to entertain him, to enhance hissocial prestige, to minister to his vanity, to dress well, and to reign as social queens. They have emancipated themselves from any serious self-sacrifice on behalf of the husband or the family, while the husband has likewise declared his independence of any strict construction of the duty of conjugal fidelity. The bond between them is not sufficiently moral and spiritual, and is excessively sensual, social, and æsthetic. And the evil example of this conception of family life extends far beyond those who are able to put it into practice. Still another danger is the decline of family authority among all classes, the diminished obedience and respect imposed upon and exhibited by children. Its consequences are imperfect discipline in the family, defective moral character in the children, and manifold unhappiness among all.
Finally, there is the danger, physical and moral, threatening the family owing to the widespread and steadily increasing presence of women in industry. In 1900 the number of females sixteen years of age and over engaged in gainful occupations in the United States was 4,833,630, which was more than double the number so occupied in 1880, and which constituted 20 per cent of the whole number of females above sixteen years in the country, whereas the number at work in 1880 formed only 16 percent of the same division of the female population. In the cities of America two women out of every seven are bread-winners (see Special Report of the U.S. Census, "Women at Work"). This condition implies an increased proportion of married women at work as wage earners, an increased proportion of women who are less capable physically of undertaking the burdens of family life, a smaller proportion of marriages, an increase in the proportion of women who, owing to a delusive idea of independence, are disinclined to marry, and a weakening of family bonds and domestic authority. "In 1890, 1 married woman in 22 was a bread-winner; in 1900, 1 in 18" (ibid.). Perhaps the most striking evil result of married women in industry is the high death-rate among infants. For infants under one year the rate in 1900 over the whole United States, was 165 per 1000, but it was 305 in Fall River, where the proportion of married women at work is greatest. As the supreme causes of all these dangers to the family are the decay of religion and the growth of materialistic views of life, so the future of the family will depend upon the extent to which these forces can be checked. And experience seems to show that there can be no permanent middle ground between thematerialistic ideal of divorce, so easy that the marital union will be terminable at the will of the parties, and the Catholic ideal of marriage absolutely indissoluble.
Family
tt=49
A term derived from the Latin, famulus, servant, and familia, household servants, or the household (cf. Oscan famel, servant). In the classical Roman period the familia rarely included the parents or the children. Its English derivative was frequently used in former times to describe all the persons of the domestic circle, parents, children, and servants. Present usage, however, excludes servants, and restricts the word family to that fundamental social group formed by the more or less permanent union of one man with one woman, or of one or more men with one or more women, and their children. If the heads of the group comprise only one man and one woman we have the monogamous family, as distinguished from those domestic societies which live in conditions of polygamy, polyandry, or promiscuity.
Certain anthropological writers of the last half of the nineteenth century, as Bachofen (Das Mutterrecht, Stuttgart, 1861), Morgan (Ancient Society, London, 1877), Mc'Lennan (The Patriarchal Theory, London, 1885), Lang (Custom and Myth, London, 1885), and Lubbock (The Origin of Civilization and the Primitive Condition of Man, London, 1889), created and developed the theory that the original form of the family was one in which all the women of a group, horde, or tribe, belonged promiscuously to all the men of the community. Following the lead of Engels (The Origin of the Family, Private Property, and the State, tr. from the German, Chicago, 1902), many Socialist writers have adopted this theory as quite in harmony with their materialistic interpretation of history. The chief considerations advanced in its favour are: the assumption that in primitive times all property was common, and that this condition naturally led to community of women; certain historical statements by ancient writers like Strabo, Herodotus, and Pliny; the practice of promiscuity, at a comparatively late date, by some uncivilized peoples, such as the Indians of California and a few aboriginal tribes of India; the system of tracing descent and kinship through the mother, which prevailed among some primitive people; and certain abnormal customs of ancient races, such as religious prostitution, the so-called jus primæ noctis, the lending of wives to visitors, cohabitation of the sexes before marriage, etc.
At no time has this theory obtained general acceptance, even among non-Christian writers, and it is absolutely rejected by some of the best authorities of today, e.g. Westermarck (The History of Human Marriage, London, 1901) and Letourneau (The Evolution of Marriage, tr. from the French, New York, 1888). In reply to the arguments just stated, Westermarck and others point out that the hypothesis of primitive communism has by no means been proved, at least in its extreme form; that common property in goods does not necessarily lead to community of wives, since family and marriage relations are subject to other motives as well as to those of a purely economic character; that the testimonies of classical historians in the matter are inconclusive, vague, and fragmentary, and refer to only a few instances; that the modern cases of promiscuity are isolated and exceptional, and may be attributed to degeneracy rather than to primitive survivals; that the practice of tracingkinship through the mother finds ample explanation in other facts besides the assumed uncertainty of paternity, and that it was never universal; that the abnormal sexual relations cited above are more obviously, as well as more satisfactorily, explained by other circumstances, religious, political, and social, than by the hypothesis of primitive promiscuity; and, finally, that evolution , which, superficially viewed, seems to support this hypothesis, is in reality against it, inasmuch as the unions between the male and the female of many of the higher species of animals exhibit a degree of stability and exclusiveness which bears some resemblance to that of the monogamous family.
The utmost concession which Letourneau will make to the theory under discussion is that "promiscuity may have been adopted by certain small groups, more probably by certain associations or brotherhoods" (op. cit., p. 44). Westermarck does not hesitate to say: "The hypothesis of promiscuity, instead of belonging, as Professor Giraud-Teulon thinks, to the class of hypotheses which are scientifically permissible has no real foundation, and is essentially unscientific" (op. cit., p. 133). The theory that the original form of the family was either polygamy or polyandry is even less worthy of credence or consideration. In the main, the verdict of scientific writers is in harmony with the Scriptural doctrine concerning the origin and the normal form of the family: "Wherefore a man shall leave father and mother, and shall cleave to his wife: and they shall be two in one flesh" (Genesis 2:24). "Therefore now they are not two, but one flesh. What therefore God hath joined together, let no man put asunder" (Matthew 19:6). From the beginning, therefore, the family supposed the union of one man with one woman.
While monogamy was the prevailing form of the family before Christ, it was limited in various degrees among many peoples by the practice of polygamy. This practice was on the whole more common among the Semitic races than among the Aryans. It was more frequent among the Jews, the Egyptians, and the Medes, than among the people of India, the Greeks, or the Romans. It existed to a greater extent among the uncivilized races, although some of these were free from it. Moreover, even those nations which practised polygamy, whether civilized or uncivilized, usually restricted it to a small minority of the population, as the kings, the chiefs, the nobles, and therich . Polyandry was likewise practised, but with considerably less frequency. According to Westermarck, monogamy was by far the most commonform of marriage "among the ancient peoples of whom we have any direct knowledge" (op. cit., p. 459). On the other hand, divorce was in vogue among practically all peoples, and to a much greater extent than polygamy.
The ease with which husband and wife could dissolve their union constitutes one of the greatest blots upon the civilization of classic Rome. Generally speaking, the position of woman was very low among all the nations, civilized and uncivilized, before the coming of Christ. Among the barbarians she very frequently became a wife through capture or purchase; among even the most advanced peoples the wife was generally her husband's property, his chattel, his labourer. Nowhere was the husband bound by the same law of marital fidelity as the wife, and in very few places was he compelled to concede to her equal rights in the matter of divorce. Infanticide was practically universal, and the patria potestas of the Roman father gave him the right of life and death over even his grown-up children. In a word, the weaker members of the family were everywhere inadequately protected against the stronger.
The Christian family
Christ not only restored the family to its original type as something holy, permanent, and monogamous, but raised the contract from which it springs to the dignity of a sacrament, and thus placed the family itself upon the plane of the supernatural. The family is holy inasmuch as it is to co-operate with God by procreating children who are destined to be the adopted children of God, and by instructing them for His kingdom. The union between husband and wife is to last until death (Matthew 19:6 sq.; Luke 16:18; Mark 10:11; 1 Corinthians 7:10; see MARRIAGE, DIVORCE). That this is the highest form of the conjugal union, and the best arrangement for the welfare both of the family and of society, will appear to anyone who compares dispassionately the moral and material effects with those flowing from the practice of divorce. Although divorce has obtained to a greater or less extent among the majority of peoples from the beginning until now, "there is abundant evidence thatmarriage has, upon the whole, become more durable in proportion as the human race has risen to higher degrees of cultivation" (Westermarck, op. cit., p. 535).
While the attempts that have been made to show that divorce is in every case forbidden by the moral law of nature have not been convincing on their own merits, to say nothing of certain facts of Old Testament history, the absolute indissolubility of marriage is nevertheless the ideal to which the natural law points, and consequently is to be expected in an order that is supernatural. In the family, as re-established by Christ, there is likewise no such thing as polygamy. This condition, too, is in accord with nature's ideal. Polygamy is not, indeed, condemned in every instance by the natural law, but it is generally inconsistent with the reasonable welfare of the wife and children, and the proper moral development of the husband. Because of these qualities of permanence and unity, the Christian family implies a real and definite equality of husband and wife. They have equal rights in the matter of the primary conjugal relation, equal claims upon mutual fidelity, and equal obligations to make this fidelity real. They are equally guilty when they violate these obligations, and equally deserving of pardon when they repent.
The wife is neither the slave nor the property of her husband, but his consort and companion. The Christian family is supernatural, inasmuch as it originates in a sacrament. Through the sacrament of matrimony husband and wife obtain an increase of sanctifying grace, and a claim upon those actual graces which are necessary to the proper fulfilment of all the duties of family life, and the relations between husband and wife, parents and children, are supernaturalized and sanctified. The end and the ideal of the Christian family are likewise supernatural, namely, the salvation of parents and children, and the union between Christ and His Church. "Husbands, love your wives, as Christ also loved the church, and delivered himself up for it", says St. Paul (Ephesians 5:25). And the intimacy of the marital union, the identification, almost, of husband and wife, is seen in the injunction: "So also oughtmen to love their wives as their own bodies. He that loveth his wife, loveth himself" (Ephesians 5:28).
From these general facts of the Christian family, the particular relations existing among its members can be readily deduced. Since the average man and woman are not normally complete as individuals, but are rather the two complementary parts of one social organism, in which their material, moral, and spiritual needs receive mutual satisfaction, a primary requisite of their union is mutual love. This includes not merely the love of the senses, which is essentially selfish, not necessarily that sentimental love which anthropologists call romantic, but above all that rational love or affection, which springs from an appreciation of qualities of mind and heart, and which impels each to seek the welfare of the other. As the intimate and long association of husband and wife necessarily bring to the surface their less noble and lovable qualities, and as the rearing of children involves great trials, the need of disinterested love, the ability to sacrifice self, is obviously grave.
The obligations of mutual fidelity have been sufficiently stated above. The particular functions of husband and wife in the family are determined by their different natures, and by their relation to the primary end of the family, namely, the procreation of children. Being the provider of the family, and the superior of the wife both in physical strength and in those mental and moral qualities which are appropriate to the exercise of authority, the husband is naturally the family's head, even "the head of the wife", in the language of St. Paul. This does not mean that the wife is the husband's slave, his servant, or his subject. She is his equal, both as a human being and as member of the conjugal society, save only that when a disagreement arises in matters pertaining to domestic government, she is, as a rule, to yield. To claim for her completely equal authority with the husband is to treat woman as man's equal in a matter in which nature has made them unequal. On the other hand the care and management of the details of the household belong naturally to the wife, because she is better fitted for these tasks than the husband.
Since the primary end of the family is the procreation of children, the husband or wife who shirks this duty from any but spiritual or moral motives reduces the family to an unnatural and unchristian level. This is emphatically true when the absence of offspring has been effected by any of the artificial and immoral devices so much in vogue at present. When the conjugal union has beenblessed with children, both parents are charged, according to their respective functions, with the duty of sustaining and educating those undeveloped members of the family. Their moral and religious formation is for the most part the work of the mother, while the task of providing for their physical and intellectual wants falls chiefly upon the father. The extent to which the different wants of the children are to be supplied will vary with the ability and resources of the parents. Finally, the children are bound, generally speaking, to render to the parents implicit love, reverence, and obedience, until they have reached their majority, and love, reverence, and a reasonable degree of support and obedience afterward.
The most important external relations of the family are, of course, those existing between it and the State. According to the Christian conception, the family, rather than the individual, is the social unit and the basis of civil society. To say that the family is the social unit is not to imply that it is the end to which the individual is a means; for the welfare of the individual is the end both of the family and of the State, as well as of every other social organization. The meaning is that the State is formally concerned with the family as such, and not merely with the individual. This distinction is of great practical importance; for where the State ignores or neglects the family, keeping in view only the welfare of the individual, the result is a strong tendency towards the disintegration of the former. The family is the basis of civil society, inasmuch as the greater majority of persons ought to spend practically all their lives in its circle, either as subjects or as heads. Only in the family can the individual be properly reared, educated, and given that formation of character which will make him a good man and a good citizen.
Inasmuch as the average man will not put forth his full productive energies except under the stimulus of its responsibilities, the family is indispensable from the purely economic viewpoint. Now the family cannot rightly discharge its functions unless the parents have full control over the rearing and education of the children, subject only to such State supervision as is needed to prevent grave neglect of their welfare. Hence it follows that, generally speaking, and with due allowance for particularconditions, the State exceeds its authority when it provides for the material wants of the child, removes him from parental influence, or specifies the school that he must attend. As a consequence of these concepts and ideals, the Christian family in history has proved itself immeasurably superior to the non-Christian family. It has exhibited greater fidelity between husband and wife, greater reverence for the parents by the children, greater protection of the weaker members by the stronger, and in general a more thorough recognition of the dignity and rights of all within its circle. Its chief glory is undoubtedly its effect upon the position of woman. Notwithstanding the disabilities--for the most part with regard to property, education, and a practically recognized double standard of morals--under which the Christian woman has suffered, she has attained to a height of dignity, respect, and authority for which we shall look in vain in the conjugal society outside of Christianity. The chief factor in this improvement has been the Christian teaching on chastity, conjugal equality, the sacredness of motherhood, and the supernatural end of the family, together with the Christian model and ideal of family life, the Holy Family at Nazareth.
The contention of some writers that the Church's teaching and practice concerning virginity and celibacy, make for the degradation and deterioration of the family, not only springs from a false and perverse view of these practices, but contradicts the facts of history. Although she has always held virginity in higher honour than marriage, the Church has never sanctioned the extreme view, attributed to some ascetical writers, that marriage is a mere concession to the flesh, a sort of tolerated carnal indulgence. In her eyes the marriage rite has ever been a sacrament, the married state a holy state, the family a Divine institution, and family life the normal condition for the great majority of mankind. Indeed, her teaching on virginity, and the spectacle of thousands of her sons and daughters exemplifying that teaching, have in every age constituted a most effective exaltation ofchastity in general, and therefore of chastity within as well as without the family. Teaching and example have combined to convince the wedded, not less than the unwedded , that purity and restraint are at once desirable and practically possible. Today, as always, it is precisely in those communities wherevirginity is most honoured that the ideal of the family is highest, and its relations purest.
Dangers for the family
Among these are the exaltation of the individual by the State at the expense of the family, which has been going on since the Reformation (cf. the Rev. Dr. Thwing, in Bliss, "Encyclopedia of Social Reform"), and the modern facility of divorce (see DIVORCE), which may be traced to the same source. The greatest offender in the latter respect is the United States, but the tendency seems to be towards easier methods in most of the other countries in which divorce is allowed. Legal authorization and popular approval of the dissolution of the marriage bond, not only breaks up existing families, but encourages rash marriages, and produces a laxer view of the obligation of conjugal fidelity. Another danger is the deliberate limitation of the number of children in a family. This practice tempts parents to overlook the chief end of the family, and to regard their union as a mere means of mutual gratification. Furthermore, it leads to a lessening of the capacity of self-sacrifice in all the members of thefamily. Closely connected with these two evils of divorce and artificial restriction of births, is the general laxity of opinion with regard to sexual immorality. Among its causes are the diminished influence of religion, the absence of religious and moral training in the schools, and the seemingly feebler emphasis laid upon the heinousness of the sin of unchastity by those whose moral training has not been under Catholic auspices. Its chief effects are disinclination to marry, marital infidelity, and the contraction of diseases which produce domestic unhappiness and sterile families.
The idle and frivolous lives of the women, both wives and daughters, in many wealthy families is also a menace. In the position which they hold, the mode of life which they lead, and the ideals which they cherish, many of these women remind us somewhat of the hetæræ of classical Athens. For they enjoy great freedom, and exercise great influence over the husband and father, and their chief function seems to be to entertain him, to enhance hissocial prestige, to minister to his vanity, to dress well, and to reign as social queens. They have emancipated themselves from any serious self-sacrifice on behalf of the husband or the family, while the husband has likewise declared his independence of any strict construction of the duty of conjugal fidelity. The bond between them is not sufficiently moral and spiritual, and is excessively sensual, social, and æsthetic. And the evil example of this conception of family life extends far beyond those who are able to put it into practice. Still another danger is the decline of family authority among all classes, the diminished obedience and respect imposed upon and exhibited by children. Its consequences are imperfect discipline in the family, defective moral character in the children, and manifold unhappiness among all.
Finally, there is the danger, physical and moral, threatening the family owing to the widespread and steadily increasing presence of women in industry. In 1900 the number of females sixteen years of age and over engaged in gainful occupations in the United States was 4,833,630, which was more than double the number so occupied in 1880, and which constituted 20 per cent of the whole number of females above sixteen years in the country, whereas the number at work in 1880 formed only 16 percent of the same division of the female population. In the cities of America two women out of every seven are bread-winners (see Special Report of the U.S. Census, "Women at Work"). This condition implies an increased proportion of married women at work as wage earners, an increased proportion of women who are less capable physically of undertaking the burdens of family life, a smaller proportion of marriages, an increase in the proportion of women who, owing to a delusive idea of independence, are disinclined to marry, and a weakening of family bonds and domestic authority. "In 1890, 1 married woman in 22 was a bread-winner; in 1900, 1 in 18" (ibid.). Perhaps the most striking evil result of married women in industry is the high death-rate among infants. For infants under one year the rate in 1900 over the whole United States, was 165 per 1000, but it was 305 in Fall River, where the proportion of married women at work is greatest. As the supreme causes of all these dangers to the family are the decay of religion and the growth of materialistic views of life, so the future of the family will depend upon the extent to which these forces can be checked. And experience seems to show that there can be no permanent middle ground between thematerialistic ideal of divorce, so easy that the marital union will be terminable at the will of the parties, and the Catholic ideal of marriage absolutely indissoluble.

Paham Perkawinan

menurut Kitab Hukum Kanonik 1983

oleh: Romo Antonius Dwi Joko, Pr



1. PERKEMBANGAN PEMAHAMAN

Dalam tahun-tahun setelah Konsili Vatikan II, pemahaman tentang Perkawinan Kristiani mengalami perkembangan yang pesat. Perkawinan yang semula dilihat hanya sebagi kontrak, kini dipandang sebagai perjanjian (covenant, foedus) yang membentuk suatu persekutuan hidup dan cinta yang mesra.

Dalam Kitab Hukum Kanonik 1917 (hukum lama), kan. 1013 dikatakan bahwa tujuan pertama perkawinan adalah mendapat keturunan dan pendidikan anak; sedangkan yang kedua adalah saling menolong sebagai suami dan sebagai obat penyembuh atau penawar nafsu seksual. Namun sekarang, dengan mengikuti ajaran ensiklik Humanae Vitae dari Paus Paulus VI, cinta suami istri dilihat sebagai elemen perkawinan yang esensial. Kodeks baru (KHK 83) dalam Kan 1055, $ 1 berbicara tentang hal itu dalam arti “bonum coniugum” (kebaikan, kesejahteraan suami-istri).

Hak atas tubuh suami-istri dalam kodeks lama merupakan tindakan yang sesuai bagi kelahiran anak. Konsili Vatikan II dalam Gaudium et Spes (GS) no. 48 menekankan pemberian atau penyerahan diri seutuhnya (total self donation, total giving of self). Maka, perkawinan tidak dilihat sebagai suatu kesatuan antara dua badan (tubuh), melainkan suatu kesatuan antara dua pribadi (persona).

2. PAHAM DASAR PERKAWINAN

“Dengan perjanjian perkawinan pria dan wanita membentu antara mereka kebersamaan seluruh hidup; dari sifat kodratinya perjanjian itu terarah pada kesejahteraan suami-isteri serta kelahiran dan pendidikan anak; oleh Kristus Tuhan perjanjian perkawinan antara orang-orang yang dibaptis diangkat ke martabat Sakramen.” (Kan. 1055 $ 1)

a. Perjanjian Perkawinan

Perkawinan itu dari kodratnya adalah suatu perjanjian (covenant, foedus). Dalam tradisi Yahudi, perjanjian berarti suatu “agreement” (persetujuan) yang membentuk (menciptakan) suatu hubungan sedemikian rupa sehingga mempunyai kekuatan mengikat sama seperti hubungan antara orang-orang yang mempunyai hubungan darah. Konsekwensinya, hubungan itu tidak berhenti atau berakhir, sekalipun kesepakatan terhadap perjanjian itu ditarik kembali. Berdasarkan pilihan bebas dari suami-istri, suatu perjanjian sesungguhnya akan meliputi relasi antar pribadi seutuhnya yang terdiri dari hubungan spiritual, emosional dan fisik.

b. Kebersamaan Seluruh Hidup

Dari kodratnya perkawinan adalah suatu kebersamaan seluruh hidup (consortium totius vitae. “Consortium”, con = bersama, sors = nasib, jadi kebersamaan senasib. Totius vitae = seumur hidup, hidup seutuhnya). Ini terjadi oleh perjanjian perkawinan. Suami istri berjanji untuk menyatukan hidup mereka secara utuh hingga akhir hayat (bdk. janji Perkawinan).

c. Antara Pria dan Wanita
Pria dan wanita diciptakan menurut gambaran Allah dan diperuntukkan satu sama lain, saling membutuhkan, saling melengkapi, saling memperkaya. Menjadi “satu daging” (Kej 2:24).

d. Sifat Kodrati Keterarahan kepada Kesejahteraan Suami-Istri (Bonum Coniugum)
Selain tiga “bona” (bonum = kebaikan) perkawinan yang diajarkan St. Agustinus, yakni (a) bonum prolis: kebaikan anak, bahwa perkawinan ditujukan kepada kelahiran dan pendidikan anak, (b) bonum fidei: kebaikan kesetiaan, menunjuk kepada sifat kesetiaan dalam perkawinan, dan (c) bonum sacramenti: kebaikan sakramen, menunjuk pada sifat permanensi perkawinan; Gaudium et Spes no. 48 menambah lagi satu “bonum” yang lain, yakni bonum coniugum (kebaikan, kesejahteraan suami-istri).
e. Sifat Kodrati Keterarahan kepada Anak
Perkawinan terbuka terhadap kelahiran anak dan pendidikannya. KHK 1983 tidak lagi mengedepankan prokreasi sebagai tujuan pertama perkawinan yang mencerminkan tradisi berabad-abad sejak Agustinus, melainkan tanpa hirarki tujuan-tujuan menghargai aspek personal perkawinan dan menyebut lebih dahulu kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum)

f. Perkawinan sebagai Sakramen

Perkawinan Kristiani bersifat sakramental. Bagi pasangan yang telah dibabtis, ketika mereka saling memberikan konsensus dalam perjanjian, maka perkawinan mereka menjadi sah sekaligus sakramen.

3. SIFAT-SIFAT HAKIKI PERKAWINAN (Kan. 1056)

Kanon 1056 mengatakan: “Sifat-sifat hakiki perkawinan ialah monogam dan tak terputuskan, yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus karena sakramen.”
Sifat-sifat hakiki perkawinan, yaitu monogami dan sifat tak terputuskannya ikatan perkawinan, termasuk paham Perkawinan Katolik. Patut diperhatikan bahwa penafsiran serta penerapannya di dalam Gereja Katolik tak jarang berbeda dengan di kalangan non-Katolik. Kedua sifat hakiki ini berkaitan erat sekali, sehingga perkawian kedua tidak sah, meskipun suami-istri perkawinan pertama telah diceraikan secara sipil atau menurut hukum agama lain, karena Gereja Katolik tidak mengakui validitas atau efektivitas perceraian itu. Dengan demikian suami istri yang telah cerai itu di mata Gereja masih terikat perkawinan dan tak dapat menikah lagi dengan sah. Andaikata itu terjadi, maka di mata Gereja terjadi poligami suksesif.

3.1. Monogami

a. Arti Monogami

Monogami berarti perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita. Jadi, merupakan lawan dari poligami atau poliandri. Sebenarnya UU Perkawinan RI No. 1 tahun 1974 juga menganut asas monogami, tetapi asas ini tidak dipegang teguh karena membuka pintu untuk poligami, tetapi tidak untuk poliandri.

b. Implikasi atau konsekuensi Monogami

Sebaiknya dibedakan implikasi / konsekuensi moral dan hukum. Di sini perhatian lebih dipusatkan pada hukum. Dengan berpangkal pada kesamaan hak pria dan wanita yang setara, sehingga poligami dan poliandri disamakan:

(1). Mengesampingkan poligami simultan: dituntut ikatan perkawinan dengan hanya satu jodoh pada waktu yang sama.

(2). Mengesampingkan poligami suksesif, artinya, berturut-turut kawin cerai, sedangkan hanya perkawinan pertama yang dianggap sah, sehingga perkawinan berikutnya tidak sah. Kesimpulan ini hanya dapat ditarik berdasarkan posisi dua sifat perkawinan seperti yang dicanangkan Kan. 1056: monogami eksklusif dan tak terputuskannya ikatan perkawinan. Implikasi dan konsekuensi ini lain - tetapi hal ini termasuk moral - ialah larangan hubungan intim dengan orang ketiga.

c. Dasar Monogami

Dasar monogami dapat dilihat dalam martabat pribadi manusia yang tiada taranya pria dan wanita yang saling menyerahkan dan menerima diri dalam cintakasih total tanpa syarat dan secara eksklusif.

Dasar ini menjadi makin jelas bila dibandingkan dengan alasan dalam UU Perkawinan yang memperbolehkan poligami, yakni: bila istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri, cacat badan atau penyakit lain yang tidak dapat disembuhkan, dan bila istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Dalam pendasaran ini istri diperlakukan menurut sifat-sifat tertentu, dan tidak menurut martabatnya sebagai pribadi manusia. Bdk. Gagasan janji perkawinan: kasih setia dalam suka-duka, untung-malang, sehat-sakit.

Tak jarang dilontarkan argumen mendukung poligami yang dianggap lebih sosial menanggapi masalah kekurangan pria, sedangkan penganut monogami tak tanggap terhadap kesulitan wanita mendapatkan jodoh.

3.2. Sifat tak-terputuskannya Ikatan Perkawinan

a. Arti

Ikatan perkawinan berlaku seumur hidup karena perkawinan berarti penyerahan diri secara total tanpa syarat, juga tanpa pembatasan waktu di dunia fana ini.

b. Implikasi

Memang kesesatan saja tentang sifat-sifat hakiki perkawinan tidak otomatis membuat perkawinan menjadi tidak sah, tetapi sifat-sifat hakiki ini juga menjadi obyek konsensus perkawinan (Kan. 1099).

Barangsiapa menjanjikan kesetiaan tetapi tidak menghendaki perkawinan seumur hidup melakukan simulasi parsial yang membuat perkawinan itu menjadi tidak sah.

Barangsiapa bercerai, tidak memenuhi janjinya untuk menikah seumur hidup, dan bila ia menikah lagi, maka perkawinan itu tidak sah, karena masih terikat pada perkawinan sebelumnya.

Itulah salah satu kesulitan umat Katolik di Indonesia, di mana 60 % perkawinan setiap tahun diceraikan.

c. Dasar

Dalam Kitab Suci : misalnya Mrk 10:2-12; Mat 5: 31-32; 19:2-12; Luk 16:18
Ajaran Gereja : Konsili Trente (DS 1807); Konsili Vatikan II (GS 48), Familiaris Consortio 20; Katekismus Gereja Katolik 1644-1645
Penalaran akal sehat memang dapat mengajukan aneka argumen untuk mendukung sifat tak terputusnya perkawinan, misalnya martabat pribadi manusia yang patut dicintai tanpa reserve, kesejahteraan suami istri, terutama istri dan anak-anak, terutama yang masih kecil. Tetapi argumen-argumen ini tak dapat membuktikan secara mutlak, artinya tanpa kekecualian.

d. Tingkat kekukuhan

Perkawinan Katolik bersifat permanen dan tak terceraikan, baik secara intrinsik (oleh suami istri sendiri) maupun ekstrinsik (oleh pihak luar). Dalam hal perkawinan antara orang-orang yang telah dibaptis, perkawinan itu memperoleh kekukuhan atas dasar sakramen. Meski demikian, hukum masih mengakui adanya tingkat-tingkat kekukuhan dalam perkawinan sesuai macam perkawinan itu sendiri.

(1) Perkawinan putativum (putatif): perkawinan tak sah yang diteguhkan dengan itikad baik sekurang-kurangnya oleh satu pihak (Kan 1061, $ 1). Secara hukum perkawinan ini tidak mempunyai sifat kekukuhan dan ketakterceraian sama sekali.

(2) Perkawinan legitimum antara dua orang non-baptis. Perkawinan ini sah, tapi tak sakramental, yang sekaligus mempunyai sifat kekukuhan, namun bisa diceraikan dengan Previlegium Paulinum *karena suatu alasan yang berat.

(3) Perkawinan legitimum antar seorang baptis dan seorang non-baptis. Perkawinan ini pun sah, tapi tak sakramental karena salah satu pasangan belum atau tidak dibaptis. Perkawinan inipun dapat dibubarkan karena suatu alasan yang berat dengan Previlegium Petrinum (Previlegi Iman)**, walaupun telah memperoleh ciri kekukuhan dalam dirinya.

(4) Perkawinan ratum (et non consumatum): perkawinan sah dan sakramental, tapi belum disempurnakan dengan persetubuhan (Kan 1061, $1). Tingkat kekukuhan perkawinan ini sudah masuk kategori khusus atas dasar sakramen, namun karena suatu alasan yang sangat berat, masih dapat diputus oleh Paus.

(5) Perkawinan ratum et consumatum: perkawinan sah, sakramental, dan telah disempurnakan dengan persetubuhan. Perkawinan ini pun mempunyai kekukuhan khusus atas dasar sakramen, tapi lebih dari itu bersifat sama sekali tak terceraikan, krn sudah disempurnakan dengan persetubuhan.

4. KONSENSUS PERKAWINAN (Kan 1057)

Konsensus atau kesepakatan perkawinan adalah perbuatan kemauan dengan mana suami istri saling menyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik kembali. Itu berarti hanya konsensus yang “menciptakan” atau membuat suatu perkawinan menjadi ada (matrimonium in fieri, terjadinya perkawinan pada saat mempelai menyatakan konsensus)

Pada saat mempelai saling memberikan konsensus dalam perjanjian perkawinan, saat itu dimulai hidup perkawinan atau hidup berkeluarga yang akan berlaku dan berlangsung sepanjang hidup (matrimonium in facto esse, hidup berkeluarga).

Para pihak harus cakap hukum atau mempu menurut hukum untuk membuat konsensus perkawinan (Kan 1057 $ 1), artinya mereka tidak terkena suatu cacat psikologis apapun yang dapat meniadakan konsensus perkawinan (Kan 1095).

Konsensus harus dinyatakan secara legitim, artinya harus dinyatakan oleh kedua pihak satu terhadap yang lain, menurut norma hukum yang berlaku, misalnya dengan keharusan mentaati forma canonica atau suatu bentuk tata peneguhan publik lainnya yang diakui.

Konsensus tak dapat diganti oleh kuasa manusiawi manapun; artinya tak ada kuasa apapun atau siapapun yang dapat dengan sewenang-wenang dan melawan hukum membuat konsensus bagi orang lain.

5. WEWENANG GEREJA ATAS PERKAWINAN ORANG-ORANG KATOLIK

Kanon 11 menyatakan bahwa orang yang dibaptis dalam Gereja Katolik atau diterima di dalammya terikat oleh undang-undang yang bersifat semata-mata gerejawi. Itu berarti mereka yang bukan Katolik, entah dibaptis atau tidak, tidak terikat oleh undang-undang tersebut.

Namun, dalam hal perkawinan, ada semacam perkecualian. Kanon 1059 mengatakan: “Perkawinan orang-orang Katolik, meskipun hanya satu pihak yang Katolik, diatur tidak hanya hukum ilahi, melainkan juga oleh hukum kanonik, dengan tetap berlaku kuasa sipil mengenai akibat-akibat yang sifatnya semata-mata sipil dari perkawinan itu.”

Dengan demikian jelas bahwa dalam hal perkawinan campur, pihak non-Katolik secara tak langsung terikat oleh undang undang gerejawi (karena harus mengikuti pasangannya yang Katolik dan yang secara langsung terikat oleh undang-undang gerejawi).

Akibat-akibat perkawinan yang semata-mata sifatnya sipil berada di luar kewenangan Gereja. Misalnya, Gereja tidak bisa mengatur bagaimana harus mengurus harta warisan, harta bawaan, harta bersama, kewarganegaraan, perubahan nama istri dengan mengikuti nama suami, dsb.

6. SYARAT-SYARAT UNTUK SAHNYA PERKAWINAN KATOLIK

6.1. Bebas dari Halangan-halangan Kanonik

Ada sekitar 12 halangan kanonik yang dibicarakan secara spesifik dalam KHK 1983, yakni:

(1) Belum Mencapai Umur Kanonik (Kan. 1083)
Kanon 1083 $ 1 menetapkan bahwa pria sebelum berumur genap 16 tahun, dan wanita sebelum berumur genap 14 tahun, tidak dapat menikah dengan sah. Ketentuan batas minimal ini perlu dimengerti bersama dengan ketentuan mengenai kematangan intelektual dan psikoseksual (Kan 1095). UU Perkawinan RI menetapkan usia minimal 19 tahun untk pria dan 17 tahun untuk wanita.

(2) Impotensi (Kan. 1084)
Ketidakmampuan untuk melakukan hubungan seksual suami-istri disebut impotensi. Impotensi bisa mengenai pria atau wanita. Menurut Kan. 1084 $ 1 impotensi merupakan halangan yang menyebabkan perkawinan tidak sah dari kodratnya sendiri, yakni jika impotensi itu ada sejak pra-nikah dan bersifat tetap, entah bersifat mutlak ataupun relatif. Halangan impotensi merupakan halangan yang bersumber dari hukum ilahi kodrati, sehingga tidak pernah bisa didespansasi.
(3) Ligamen / Ikatan Perkawinan Terdahulu (Kan. 1085)
Menurut kodratnya perkawinan adalah penyerahan diri timbal balik, utuh dan lestari antara seorang pria dan seorang wanita. Kesatuan (unitas) dan sifat monogam perkawinan ini adalah salah satu sifat hakiki perkawinan, yang berlawanan dengan perkawinan poligami atau poliandri, baik simultan maupun suksesif. Sifat monogam perkawinan adalah tuntutan yang bersumber dari hukum ilahi kodrat, yang tak bisa didispensasi. Kan 1085 $ 1 memberikan prinsip hukum kodrat demi sahnya perkawinan: “Adalah tidak sah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh orang yang terikat perkawinan sebelumnya, meskipun perkawinan itu belum disempurnakan dengan persetubuhan.”

(4) Perkawinan Beda Agama / disparitas cultus (Kan. 1086)
Di dalam perkawinan, suami-istri bersama-sama berupaya untuk mewujudkan persekutuan hidup dan cintakasih dalam semua aspek dan dimensinya: personal-manusiawi dan spiritual-religius sekaligus. Agar persekutuan semacam itu bisa dicapai dengan lebih mudah, Gereja menghendaki agar umatnya memilih pasangan yang seiman, mengingat bahwa iman berpengaruh sangat kuat terhadap kesatuan lahir-batin suami-istri, pendidikan anak dan kesejahteraan keluarga.
Mengingat relevansi iman terhadap perkawinan sakramental dan pengaruh perkawinan sakramental bagi kehidupan iman itulah Gereja Katolik menginginkan agar anggotanya tidak melakukan perkawinan campur, dalam arti menikah dengan orang non-Katolik, entah dibaptis non-Katolik (mixta religio) maupun tidak baptis (disparitas cultus). Di samping itu, ada sebuah norma moral dasar yang perlu diindahkan, yakni bahwa setiap orang dilarang melakukan sesuatu yang membahayakan imannya. Iman adalah suatu nilai yang amat tinggi, yang perlu dilindungi dengan cinta dan bakti.

(5) Tahbisan Suci (Kan. 1087)
Melalui tahbisan suci beberapa orang beriman memperoleh status kanonik yang khusus, yakni status klerikal, yang menjadikan mereka pelayan-pelayan rohani dalam gereja. Kan 1087 menetapkan: “Adalah tidak sah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh mereka yang telah menerima tahbisan suci”.

(6) Kaul Kemurnian Publik dan Kekal (Kan. 1088)
Seperti tahbisan suci, demikian pula hidup religius tidak bisa dihayati bersama-sama dengan hidup perkawinan, karena seorang religius terikat kaul kemurnian (bdk. Kan. 573 $ 2; 598 $ 1)

(7) Penculikan (Kan. 1089)
Halangan penculikan atau penahanan ditetapkan untuk menjamin kebebasan pihak wanita, yang memiliki hak untuk menikah tanpa paksaan apapun. Kemauan bebas adalah syarat mutlak demi keabsahan kesepakatan nikah.

(8) Pembunuhan teman perkawinan (Kan. 1090)
Ini disebut halangan kriminal conjungicide.

(9) Konsanguinitas / Hubungan Darah (Kan. 1091)
Gereja menetapkan halangan hubungan darah untuk melindungi atau memperjuangkan nilai moral yang sangat mendasar. Pertama-tama ialah untuk menghindarkan perkawinan incest. Hubungan ini dilarang. Hubungan ini juga berakibat buruk terhadap kesehatan fisik, psikologis, mental dan intelektual bagi anak-anak yang dilahirkan.
Kan 1091 $ 1 menegaskan: “Tidak sahlah perkawinan antara orang-orang yang berhubungan darah dalam garis keturunan ke atas dan ke bawah, baik legitim maupun alami”. Kan. 1091 $ 2 menegaskan bahwa dalam garis keturunan menyamping perkawinan tidak sah sampai dengan tingkat ke-4 inklusif.

(10) Hubungan Semenda / affinitas (Kan. 1092)
Hubungan semenda tercipta ketika dua keluarga saling mendekatkan batas-batas hubungan kekeluargaan lewat perkawinan yang terjadi antar anggota dari dua keluarga itu. Jadi, hubungan semenda muncul sebagai akibat dari suatu faktor ekstern (= ikatan perkawinan), bukan faktor intern (= ikatan darah).
Kan. 1092 menetapkan: “Hubungan semenda dalam garis lurus menggagalkan perkawinan dalam tingkat manapun”. Secara konkret, terhalang untuk saling menikah: a). antara menantu dan mertua [garis lurus ke atas tingkat 1], b). antara ibu dan anak tiri laki-laki, demikian juga sebaliknya antara bapak dan anak tiri perempuan.

(11) Kelayakan Publik (Kan. 1093)

Kelayakan publik muncul dari perkawinan yang tidak sah, termasuk hubungan kumpul kebo (konkubinat) yang diketahui umum. Menurut Kan. 1093 halangan nikah yang timbul dari kelayakan publik dibatasi pada garis lurus tingkat pertama antara pria dengan orang yang berhubungan darah dengan pihak wanita. Begitu juga sebaliknya.

(12) Hubungan Adopsi (Kan. 1094)
Anak yang diadopsi lewat adopsi legal memiliki status yuridis yang analog dengan status yuridis anak kandung. Kanon 1094 menyatakan: “Tidak dapat menikah satu sama lain dengan sah mereka yang mempunyai pertalian hukum yang timbul dari adopsi dalam garis lurus atau garis menyamping tingkat kedua.”

6.2. Adanya Konsensus atau Kesepakatan Nikah

a. Pengertian Konsensus

Konsensus (Kan 1057, $ 2) adalah perbuatan kemauan dengan mana pria dan wanita saling menyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik kembali.

b. Faktor Penyebab Tak Adanya Konsensus

Konsensus bisa cacat atau tidak ada sama sekali oleh faktor-faktor berikut:

(1) Ketidakmampuan psikologis (Kan. 1095)
(2) Tak ada pengetahuan yang cukup mengenai hakekat perkawinan (Kan. 1096)
(3) Kekeliruan mengenai pribadi (Kan. 1097)
(4) Penipuan (Kan. 1098)
(5) Kekeliruan mengenai sifat perkawinan dan martabat sakramental perkawinan (Kan. 1099)
(6) Simulasi (Kan. 1101): simulasi total; simulasi parsial (bonum prolis, bonum fidei, bonum sakramenti, bonum coniugum)
(7) Konsensus bersyarat (Kan. 1102)
(8) Paksaan dan ketakutan (Kan. 1103)

6.3. Dirayakan dalam “forma canonika” (Kan. 1108-1123)

“Forma canonica” atau tata peneguhan ialah bahwa suatu perkawinan harus dirayakan dihadapan tiga orang, yakni petugas resmi Gereja sebagai peneguh, dan dua orang saksi.

7. PERKAWINAN CAMPUR (Kan 1124-1129; 1086)

7.1. Pengertian

Perkawinan campur, yaitu perkawinan antara seorang baptis Katolik dan pasangan yang bukan Katolik (bisa baptis dalam gereja lain, maupun tidak dibaptis). Gereja memberi kemungkinan untuk perkawinan campur karena membela dua hak asasi, yaitu hak untuk menikah dan hak untuk memilih pegangan hidup (agama) sesuai dengan hati nuraninya.

Keyakinan Gereja tentang perkawinan sebagai sakramen dan dimungkinkannya perkawinan campur tidak boleh diartikan bahwa Gereja membedakan dua perkawinan, seakan-akan ada perkawinan kelas 1 dan kelas 2. Perkawinan yang sudah diteguhkan secar sah dan dimohonkan berkat dari Tuhan apapun jenisnya, semuanya berkenan di hadapan Tuhan. Semuanya dipanggil untuk memberi kesaksian akan kasih Kristus kepada manusia.

7.2. Dua Jenis Perkawinan Campur

Perkawinan campur beda gereja (seorang baptis Katolik menikah dengan seorang baptis non-Katolik) perkawinan ini membutuhkan ijin.

Perkawinan campur beda agama (seorang dibaptis Katolik menikah dengan seorang yang tidak dibaptis) untuk sahnya dibutuhkan dispensasi.

7.3. Persyaratan Mendapatkan Ijin atau Dispensasi

Pihak Katolik diwajibkan membuat janji yang berisi dua hal:

(1) Pihak Katolik berjanji untuk setia dalam iman Katoliknya.
(2) Pihak Katolik berjanji akan berusaha dengan serius untuk mendidik dan membaptis anak-anak yang akan lahir dalam Gereja Katolik. Janji ini acapkali menjadi salah satu permasalahan. Maka sangat dianjurkan untuk dibereskan dahulu, sehingga bisa diantisipasi.

7.4. Soal Larangan Nikah Ganda (Kan. 1127 $ 3)

Kita berhadapan dengan kenyataan: dalam perkawinan campur, tata peneguhan kanonik diwajibkan, sedangkan nikah ganda (peneguhan sebelum atau sesudah peneguhan Katolik masih diadakan peneguhan menurut agama lain) dilarang.

Kesan yang sering timbul dari pihak non-Katolik: Gereja Katolik mau menangnya sendiri, mengapa tidak “fifty-fifty”: baik menurut hukum agama Katolik di Gereja Katolik, maupun menurut agama yang lain. Tetapi justru ini dilarang Kan. 1127 $ 3 yang sering sulit dipahami pihak non-Katolik.

1. Dalam Pernikahan Beda Gereja
Terbuka perkawinan ekumenis di hadapan pelayan Katolik dan pendeta, kalau perlu bahkan dengan dispensasi dari tata peneguhan kanonik (bila pernyataan konsensus tidak diterima oleh pelayan Katolik). Maka perlu disepakati pembagian tugas yang jelas antara pelayan Katolik dan pendeta, misalnya firman dan berkat diserahkan kepada pendeta, sedangkan pelaksanaan tata peneguhan Katolik dipercayakan kepada pelayan Katolik, demi sahnya perkawinan.

2. Dalam Pernikahan Beda Agama
Terutama pihak non-Katolik dapat mempunyai keberatan, mungkin bahkan menurut hati nuraninya: sebelum menikah menurut agamanya, perkawinan tidak sah, dan hubungannya dirasakan sebagai zinah. Atau dapat juga terjadi bahwa fakta ini dipakai sebagai kesempatan untuk berpisah (menceraikan jodohnya) dengan alasan: belum menikah sah.

7.5. Pastoral Kawin Campur

Memang sudah banyak ajakan untuk meningkatkan pastoral perkawinan dan keluarga, tak hanya untuk tahap persiapan perkawinan yang hanya meliputi waktu yang amat pendek, melainkan terutama untuk tahap pasca-nikah yang meliputi hal-hal praktis seluruh hidup perkawinan. Namun demikian upaya-upaya itu kerapkali masih sporadis dan insidental, daripada gerakan yang melibatkan seluruh umat.

Dalam pandangan Gereja tentang kawin campur sudah disebut unsur-unsur (misalnya sehubungan dengan interaksi antara perkawinan dan agama) yang menggarisbawahi perlunya pastoral perkawinan dan keluarga pada umumnya, dan kawin campur pada khususnya.

Mengingat makna perkawinan dan keluarga, dibandingkan dengan upaya dan program pembinaan, apa yang diusahakan untuk mereka yang hidup berkeluarga masih amat kecil.

7.6. Kesulitan Pencatatan Sipil

Berlakunya UU perkawinan 1974 mengakibatkan tidak mudahnya mereka yang menikah dalam perkawinan campur untuk mendaptkan pengesahan sipil. Sering dijumpai tidak konsistennya petugas pencatatan sipil. Pasangan perkawinan campur tidak boleh menyerah dalam mengusahakan pengesahan secara sipil, apapun caranya.

7.7. Beberapa Catatan dan Harapan

Hal yang utama dalam perkawinan adalah kasih. Kasih yang selalu terikat pada pribadi. Perlu senantiasa mengusahakan berbagai hal yang menyatukan. De fakto dalam perkawinan campur ada perbedaan, namun membicarakan perbedaan tidaklah berguna bahkan menimbulkan kerenggangan. Senantiasa yakin akan pemeliharaan dan penyertaan Tuhan. Selengkapnya...(Read More)